Kembali aku teringat kejadian sepekan yang lalu. Sa'at sepersekian detik saja waktu yang kupunya untuk menghindar dari musibah. Sepersekian detik yang jika terlambat bisa melumpuhkan badan, sepersekian detik yang jika terlambat bisa meremukkan motor yang bukan kepemilikanku, sepersekian detik yang bisa terbayang bagaimana kengerian keluarga ketika membayangkan aku yang enam tahun lalu merantaui dan ternyata kembali dengan jiwa yang tak dapat lagi di peluk mereka.
Semuanya bermula dari ide pelesir singkat dengan motor yang sebenarnya tidak terlalu perlu. Aku tidak sedang berada di level stress yang tinggi, tidak juga punya banyak waktu senggang untuk bersenang-senang. Bahkan, demi pelesir itu aku meninggalkan forum kajian pendidikan yang sudah kuazamkan kalau aku harus hadir dan ikut berdiskusi. Namun, kutinggalkan begitu saja demi ide ini. Generasi Z mana yang tidak suka keluar dari rutinitas? healing dengan bebas? Tanpa memikirkan tugas? Skala prioritas belajar harian yang meskipun sudah dirancang baik-baik, selalu berantakan jika tiba-tiba terlintas ide baru untuk bersenang-senang.
Gayung bersambut seorang temanku langsung menyetujui ide ini. Kami berangkat meskipun tanpa tujuan tempat yang pasti, aku usul ke temanku untuk mampir ke beberapa kedai makanan. Inti dari jalan-jalan dari dua pertemanan perempuan pasti adalah tentang makanan. Kali ini aku yang sebenarnya sedang berdompet tipis tidak ingin membeli apa pun, tapi agar healing dengan motor ini punya tujuan dan tidak hanya sekedar keluar kampus, aku berniat membelikan beberapa makanan untuk teman-temanku di asrama. Pikirku, mereka yang tidak punya kesempatan keluar pasti akan bahagia jika kubelikan beberapa makanan luar. Disiplin kampus untuk mahasiswi santri seperti teman-temanku tidak membuat mereka bebas keluar kampus sebelum lulus. Semua serba dibatasi. Tidak sama sepertiku yang sudah lulus dan sedang mengabdi.
Kami berangkat. Temanku yang punya nyali seribu kali lebih besar dariku mengegas motor dengan kecepatan tinggi kira-kira 80km/jam. Aku di belakang serasa terbang. Jilbab besar kami berkibar-kibar ke belakang. Tentu, aku yang dibonceng memprotes kecepatannya. Konsep jalan-jalan tidak akan bisa dinikmati jika dia terus berkendara dengan kecepatan itu. Padahal aku ingin makan angin lebih banyak dan menikmati suguhan pemandangan sawah di samping kiri-kanan. Sontak saja aku memintanya untuk memelankan laju motor dan menjelaskan konsep healing yang kumaksud. Temanku menurut saja.
Motor melaju lebih pelan, sekitar 30km/jam. Sampai 20m kira kira, aku melihat pick-up besar teronggok di pinggir jalan. Parkir di bidang yang miring. Pick-upnya terisi batako seukuran TV lawas, volumenya cukup penuh hingga menjulang tinggi di atas atapnya. Tumpukan batako itu saat kulihat dari kejauhan 5 meter masih terlihat baik-baik saja sampai dengan jarak kami 1 meter mulai terlihat kemiringan tumpukan paling atas. Saat kami melewatinya, batako-batako itu mulai dari tingkat tengah hingga atas miring semua, sepersekian detik seolah Allah mengizinkan motor kami lewat lebih dulu, batako-batakonya runtuh semua ke tanah karena presisi kemiringannya tak bisa ditolerir. Terjadi saat kami sudah berhasil melaluinya. Suaranya berdentam keras diikuti dengan teriakan panik supir pick-up yang berada di sekitarnya. Demi menghindari itu semua, temanku reflek melindungi kepalanya dengan menunduk.
Hati kami berdua bergemuruh hebat. Sepersekian detik saja kami terlambat, ntah nasib apa yang kami lalui. Bisa saja sudah tidak tidur lagi di asrama kampus atau kemungkinan paling buruknya, imam shalat magrib di Masjid Kampus malam nanti menyebutkan nama kami berdua untuk disholati. Tak kubayangkan jika ribuan santri dan mahasiswi menyolati kami. Sa'at hatiku sedang bertalu-talu, tiba-tiba mendesing diingatanku kejadian beberapa menit sebelumnya, aku meminta ke temanku agar laju motor dipelankan. Andai presisi tingkat laju motor lebih pelan beberapa km/jam saja mungkin kami berdua sudah tertumpuk dengan puluhan batako itu. Sungguh, miris.
Pikirku, kejadian ini adalah peringatan. Pemilikku sedang mengingatkanku tentang arti waktu. Terutama azam yang harus benar-benar dilakukan yakni menuntut ilmu dan belajar. Ketika sudah berniat mengikuti suatu forum ilmu, maka aku tidak boleh bermudah-mudah meninggalkannya. Apalagi hanya untuk sekedar pilihan healing yang sebenarnya tidak ada di agendaku hari itu. Â Kemungkinan-kemungkinan yang lain pun terangkai dalam otakku. Tentang skenario Allah yang rumit tetapi sangat bermakna. Mungkin saja jika aku tidak punya niat untuk membahagiakan orang lain dengan membelikan beberapa makanan untuk teman-temanku di asrama, aku akan terlindas puluhan batako itu. Satu titik niat kebaikan menyelamatkan. Kebaikan dalam bentuk niat ini adalah kebaikan yang sungguh amatlah kecil, tapi ternyata nilainya memberi nyawa baru untukku. Sungguh, kemurahan Allah kepada hambanya. Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI