Pemerintah kembali mengumumkan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 dengan slogan ambisius: Indonesia Tangguh, Mandiri, dan Sejahtera. Anggaran yang digelontorkan sungguh fantastis. Pendidikan mendapat porsi Rp757,8 triliun, program makan bergizi gratis menyerap Rp335 triliun, dan subsidi energi mencapai Rp402,4 triliun. Angka-angka ini mencerminkan tekad besar pemerintah untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia sekaligus menjaga daya beli masyarakat.
Namun, di balik optimisme tersebut, kita perlu jujur menimbang risiko yang menyertainya. Pemerintah berencana menarik utang baru sebesar Rp781,9 triliun, sementara pembayaran bunga saja mencapai Rp599,44 triliun. Ini berarti hampir setengah dari pendapatan negara digunakan untuk membayar kewajiban masa lalu. Apakah kebijakan fiskal kita masih dalam jalur yang sehat? Dan apakah prioritas belanja RAPBN kali ini betul-betul akan mendorong pertumbuhan ekonomi sesuai target?
Target Pertumbuhan 5,4%: Ambisi yang Sulit Dicapai
Pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi 5,4% dengan defisit 2,4% terhadap PDB. Di atas kertas, angka ini tampak moderat, apalagi rasio utang terhadap PDB masih sekitar 38--39%, yang dikategorikan aman. Namun, melihat kondisi riil, target ini terkesan terlalu optimistis.
Data menunjukkan pertumbuhan ekonomi triwulan pertama hanya 4,81%, dan meskipun triwulan kedua membaik di angka 5,12%, mencapai 5,4% secara tahunan tampak sulit. Untuk mencapai target tersebut, dua kuartal terakhir harus tumbuh di kisaran 5,6--5,8%. Dalam situasi ketidakpastian global, perlambatan perdagangan dunia, serta ketegangan geopolitik, hal ini bukan perkara mudah.
Sumber pertumbuhan ekonomi kita selama ini bertumpu pada empat hal: konsumsi rumah tangga, belanja pemerintah, investasi, dan ekspor neto. Konsumsi rumah tangga relatif stabil, tetapi investasi masih belum cukup kuat untuk menjadi penggerak utama. Kita kalah kompetitif dibandingkan Vietnam, Thailand, dan Malaysia dalam menarik limpahan investasi dari China. Di sisi ekspor, meski ada penurunan tarif dagang ke AS, peningkatan impor produk pertanian dan alutsista justru berpotensi memperburuk neraca perdagangan.
Belanja Populis dan Efektivitas Program
Program makan bergizi gratis dengan alokasi Rp335 triliun menjadi salah satu sorotan. Program ini, di atas kertas, bertujuan meningkatkan kualitas gizi anak sekolah dan mengurangi ketimpangan. Namun, pertanyaan mendasarnya adalah apakah program ini benar-benar akan menciptakan trickle-down effect ke sektor riil? Apakah benar melibatkan UKM, petani, dan nelayan sebagaimana yang dijanjikan?
Ada risiko besar bahwa kebutuhan bahan pangan untuk program ini tidak bisa sepenuhnya dipenuhi oleh produksi domestik. Jika kebutuhan susu untuk 82 juta penerima, misalnya, harus dipenuhi melalui impor, maka dampaknya justru menekan neraca perdagangan. Situasi serupa terjadi pada sektor pertahanan, di mana belanja alutsista yang mayoritas impor juga memperbesar tekanan defisit perdagangan.
Lebih jauh, program makan bergizi gratis ini bersifat jangka pendek dan cenderung populis. Sulit membayangkan program ini akan terus berjalan 10--20 tahun ke depan. Harapannya, masyarakat kelak mampu memenuhi kebutuhan gizi secara mandiri. Jika tidak disertai strategi penguatan pendapatan rumah tangga dan perbaikan kualitas pendidikan, maka efeknya hanya sementara.