Teori Signal (Signalling Theory)
Teori signaling merupakan salah satu teori keuangan yang sangat berpengaruh dalam menjelaskan hubungan antara informasi internal perusahaan dengan perilaku investor di pasar modal. Diperkenalkan oleh Spence (1973) dalam konteks pasar tenaga kerja dan diperluas oleh Ross (1977) dalam bidang keuangan, teori ini menekankan pentingnya sinyal yang dikirimkan oleh manajemen kepada investor. Dalam dunia korporasi, manajemen memiliki akses terhadap informasi yang tidak dimiliki oleh pihak eksternal, sehingga mereka cenderung mengirimkan sinyal melalui laporan keuangan, keputusan investasi, dan struktur pendanaan untuk mengurangi ketimpangan informasi.
Dalam kaitannya dengan penelitian ini, sinyal positif seperti peningkatan Return on Assets (ROA) menandakan bahwa perusahaan mampu mengelola asetnya secara efisien dan menghasilkan laba yang tinggi, yang dapat meningkatkan kepercayaan investor. Di sisi lain, struktur pembiayaan yang ditunjukkan oleh rasio leverage seperti Debt to Equity Ratio (DER) juga berfungsi sebagai sinyal. DER yang moderat bisa ditafsirkan sebagai penggunaan utang yang terkontrol, Â mampu mengelola asetnya secara efisien dan menghasilkan laba yang tinggi, yang dapat meningkatkan kepercayaan investor. Di sisi lain, struktur pembiayaan yang ditunjukkan oleh rasio leverage seperti Debt to Equity Ratio (DER) juga berfungsi sebagai sinyal. DER yang moderat bisa ditafsirkan sebagai penggunaan utang yang terkontrol, sementara DER yang tinggi dapat dianggap sebagai sinyal risiko finansial yang lebih besar.
Silaban (2021) menyatakan bahwa ROA yang meningkat dapat memberikan sinyal positif kepada pasar, menunjukkan bahwa perusahaan memiliki prospek kinerja yang baik. Investor akan merespons sinyal tersebut dengan meningkatkan permintaan atas saham perusahaan, sehingga berpengaruh positif terhadap harga saham dan pada akhirnya meningkatkan nilai perusahaan yang diukur dengan Price to Book Value (PBV). Oleh karena itu, teori signaling relevan untuk menjelaskan bagaimana variabel keuangan dalam penelitian ini berdampak pada nilai perusahaan.
Teori Pecking Order
Teori Pecking Order diperkenalkan oleh Myers dan Majluf (1984) sebagai respon terhadap keterbatasan teori struktur modal tradisional. Teori ini berasumsi bahwa karena adanya asimetri informasi antara manajer dan investor, perusahaan akan memiliki urutan preferensi dalam pendanaan: pertama menggunakan laba ditahan, kemudian utang, dan terakhir menerbitkan saham baru. Preferensi ini bertujuan untuk meminimalkan biaya informasi dan menjaga nilai perusahaan dari potensi dilusi yang disebabkan oleh penerbitan saham.
Dalam konteks penelitian ini, teori Pecking Order menjelaskan hubungan antara profitabilitas (ROA) dan leverage (DER). Perusahaan dengan profitabilitas tinggi lebih cenderung menggunakan danaÂ
internal sehingga memiliki DER yang rendah. Sebaliknya, perusahaan dengan profitabilitas rendah akan lebih banyak menggunakan utang untuk membiayai operasionalnya, yang tercermin dari DER yang tinggi. Namun, jika penggunaan utang tidak dibarengi dengan peningkatan profitabilitas, maka investor akan menganggapnya sebagai sinyal negatif yang menurunkan nilai perusahaan.
Elviza et al. (2023) menekankan bahwa leverage yang tinggi seringkali dikaitkan dengan risiko keuangan yang lebih besar, terutama jika perusahaan tidak memiliki kinerja laba yang memadai. Dalam konteks perbankan, penggunaan utang yang tinggi harus dikelola dengan sangat hati-hati mengingat sifat bisnis yang sangat teregulasi dan sensitif terhadap fluktuasi pasar. Oleh karena itu, teori Pecking Order memberikan kerangka konseptual yang kuat dalam menganalisis hubungan antara DER dan PBV.
Profitabilitas (ROA)