Radit menatap cermin, lalu mendesah. “Masuklah.”
Nisa melangkah perlahan, matanya sembab. Ia duduk di tepi ranjang, sementara Radit tetap berdiri, memunggungi adiknya.
“Mas… kenapa Mas selalu berpura-pura baik-baik saja? Kenapa Mas nggak pernah mau jujur sama diri sendiri?” suara Nisa bergetar.
Radit terdiam.
“Aku capek, Mas. Aku lihat Mas selalu tersenyum ke orang lain, seolah semua terkendali. Tapi ke kita, keluarga Mas sendiri… Mas jadi dingin. Apa Mas nggak sadar itu melukai?”
Radit menelan ludah. Kata-kata itu menusuk, tapi egonya menolak runtuh.
“Aku hanya ingin terlihat kuat, Nisa.”
“Terlihat kuat? Atau sebenarnya Mas ini terlalu keras hati untuk bisa mengakui kalau Mas rapuh?” Nisa hanya menatapnya dengan mata berkaca-kaca. “Cermin itu, Mas… nggak bisa lagi menampilkan siapa Mas sebenarnya. Karena Mas sendiri sudah nggak tahu wajah asli Mas yang mana.”
Radit menoleh, pandangannya jatuh pada cermin. Untuk pertama kalinya, ia merasa wajah yang dipantulkan begitu asing. Senyum yang ia bentuk tampak kaku, mata yang biasanya teduh kini kosong.
Air matanya mengalir tanpa ia sadari. “Aku… takut, Nisa. Kalau aku jujur, kalau aku melepas semua topengku… aku takut orang-orang akan pergi meninggalkan aku.”
Nisa mulai mendekat, dan menggenggam tangan kakaknya. “Mas, justru kejujuran yang bikin orang tetap tinggal. Topeng hanya akan bikin Mas sendirian.”