Mohon tunggu...
Roni Saputra
Roni Saputra Mohon Tunggu... Tenaga Kesejahteraan Sosial -

Membaur Tidak Melebur

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Oom, Saya Sebenarnya Kena Kanker, Jangan Dekat-dekat"

23 Juli 2018   14:54 Diperbarui: 23 Juli 2018   14:57 498
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sabtu pagi yang ceria, saya turun kelapangan (turlap). Biasa, hanya sekedar ingin bercengkerama dengan para warga tempat saya diberi tugas, fokus saya langsung tertuju ke satu keluarga yang sangat susah saya hubungi, entah hanya untuk bercengkerama atau hanya sekedar meminta data. Beliau adalah ibu Nok Owis seorang single parent dengan satu anak laki-laki.

Adalah Juliko Aditiyo, Lahir 07 Juli 2003, seorang yatim. Ayahnya meninggal di saat Tiyo (nama panggilannya) menginjak usia 5 tahun, ibunya adalah sorang buruh pabrik, Tiyo tinggal berdua dengan ibunya, kebetulan saya datang hari sabtu dimana ibunya masih bekerja dan Tiyo tinggal sendiri di satu kotak sempit di sudut rumah pemilik kontrakan itu.

Kali pertama saya berjumpa dengan Tiyo, saya coba bercengkerama, menyapa, bicara, seolah tiada jarak, semakin dalam saya semakin penasaran kenapa keluarga ini sangat sulit dihubungi entah hanya untuk meminta data pemuktahiran atau hanya sekedar bicara. Adik kecil yang saya lihat, mukanya memang tidaklah fresh, seperti sayu memendam sesuatu, "Kenapa?" tanya dibenakku,

"Oom, saya sebenarnya kena kanker, jangan dekat-dekat" ucap anak kecil lugu sambil takut saya terkena penyakit yang sama dengannya. Saya spechless, membayangkan masa depan seorang anak remaja laki-laki usia 15 tahun harus diberi Tuhan cobaan sebegitu berat, dia yang masih remaja harusnya menikmati masa mudanya, tiba-tiba harus dihadapkan dengan kenyataan sedimikian "suram".

"Ah, sudah biasa (sambil memberi senyum seolah meremehkan penyakitnya)" dalam hati, saya takut. Saya rangkul dia, dia tidak mau merangkulku seperti seorang yang minder dan terbiasa dikucilkan.

Ternyata benar, dia dikeluarkan dari sekolah karena gurunya memberikan saran untuk Tiyo agar segera berobat karena setiap hari selalu mudah lemas, keluar darah dari hidung dan susah dihentikan,

"Padahal oom, saya sebenarnya pengen banget sekolah, saya juga selalu dapat juara di kelas, saya ingin sekolah lagi, sekarang saya sudah ketinggalan dua tahun karena penyakit ini, harusnya saya sudah kelas tiga SMP, saya mau sekolah lagi" ujarnya sambil menangis seolah melepaskan semua bebannya. Jujur saya kehabisan kata-kata, tapi saya berusaha memberikan motivasi dan tidak mau memperlihatkan ekpresi sedihku di hadapan anak sekecil itu, saya memberikan nasihat agar tidak meninggalkan sholat karena tiada lagi tempat bergantung selain kepada-Nya, saya juga coba menggalang dana dadakan dengan beberapa warga disana, bersyukur dengan bantuan BPJS sangat merigankan bebannya, senyummu seolah mengubur kesedihanmu.

Tiyo adalah anak yang sangat saya salut dan saya sedih melihat realita hidupnya, tetapi saya tidak tau apakah ini baik atau buruk? karena yang saya yakini apa yang telah Tuhan putuskan pastilah yang terbaik.

Dia seorang anak kecil, harus berobat sendiri ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) satu rumah sakit yang begitu besar, anak kecil 15 tahun yang dengan rinci menjelaskan penyakitnya ke saya seperti seorang dokter yang saya tidak mengerti, seorang anak kecil yang harus berobat bolak-balik sendiri ke satu rumah sakit sebesar dan seluas itu tanpa pendamping, anak sekurus itu, semangatmu luar biasa, saya salut !

Darimu saya belajar untuk tidak menyerah, darimu juga saya belajar arti perjuangan yang sebenarnya, engkau mengajarkan untuk tidak menyerah selama masih ada harapan, meski saya tahu harapanmu tidaklah lagi lama.

Saya mencintamu, semoga Allah merahmatimu. Adik kecilku. Salam salutku !

 ***                                                                                                   

Roni Saputra,

Tenaga Kesejahteraan Sosial,

Email : roni.saputra84@yahoo.com 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun