Antara Harapan Baru atau Ulangan Lama Skema Elitis?
Oleh: Ronald Sumual Pasir
"Uang adalah alat untuk mewujudkan mimpi, tapi jika dikelola tanpa transparansi, ia bisa berubah menjadi alat mimpi buruk."
Indonesia kembali menulis babak baru sejarah ekonominya dengan meluncurkan Danantara, sebuah sovereign wealth fund (SWF) yang digadang-gadang akan menjadi "Temasek-nya Indonesia". Tak tanggung-tanggung, proyek ini diklaim memiliki potensi mengelola hingga USD 900 miliar---angka yang hampir mustahil dicerna kepala, apalagi di tengah rapuhnya anggaran pendidikan dan kesehatan kita yang masih kembang-kempis.
Namun, apakah Danantara benar-benar harapan baru dalam strategi ekonomi jangka panjang? Atau justru hanya kosmetika elitis yang menyembunyikan risiko-risiko lama dengan bungkus baru?
Dari Temasek ke Danantara: Cita-cita Menjulang Tinggi
Diluncurkan pada Februari 2025, Danantara tampil mencolok dengan modal awal IDR 320 triliun. Tidak dari langit, dana ini berasal dari pengalihan dividen BUMN strategis seperti Telkom, PLN, Pertamina, Mandiri, dan lainnya. Skemanya mirip dengan Temasek Holdings di Singapura atau Khazanah Nasional di Malaysia. Indonesia tampaknya ingin masuk dalam jajaran elite negara-negara pemilik dana abadi yang tidak hanya menjaga kedaulatan fiskal, tetapi juga aktif menanam modal di sektor strategis seperti AI, nikel, infrastruktur, hingga energi bersih.
Mereka juga menghadirkan nama-nama besar dalam jajaran penasihat global: Ray Dalio, Jeffrey Sachs, hingga Thaksin Shinawatra. Komposisi yang tampak seperti dream team investor global. Tapi seperti yang sering kita pelajari dari sejarah, label besar tak selalu menjamin hasil besar.
Gambler's Risk atau Strategi Jangka Panjang?
Artikel investigatif dari AInvest menyebut Danantara sebagai "a $10 Billion Gamble"---pertaruhan raksasa yang bisa berbuah manis, tapi juga bisa meledak di wajah kita.
Kenapa disebut pertaruhan?