Populisme dan Bayangan Kepentingan: Dilema Gubernur Sherly Tjoa
------------
Gubernur Sherly Tjoa adalah figur yang mudah disukai. Gaya bicaranya sederhana, menarik, penampilannya rapi namun tanpa kesan elitis, dan setiap kebijakan yang dikeluarkannya sering dikemas dengan sentuhan "rakyat kecil". Dalam banyak kesempatan, ia tampil seolah menjadi antitesis dari pejabat daerah yang kaku dan jauh dari publik. Tidak heran jika Sherly Tjoa menjadi salah satu kepala daerah dengan tingkat kepuasan publik tertinggi di Indonesia bagian timur.
Namun di balik popularitas itu, muncul pertanyaan yang lebih berat: apakah populisme politik bisa benar-benar steril dari kepentingan pribadi? Kasus kepemilikan saham di perusahaan tambang nikel PT Karya Wijaya, yang disebut-sebut memiliki kaitan dengan dirinya, membuka ruang diskusi tentang batas tipis antara "citra populis" dan "bayangan konflik kepentingan".
Populisme dan godaan kekuasaan
Populisme pada dasarnya adalah seni memikat rakyat dengan narasi anti-elit. Dalam definisi klasik Ernesto Laclau (2005), populisme merupakan "strategi politik untuk membangun identitas kolektif dengan melawan kekuasaan yang dianggap mapan." Gaya ini kerap digunakan oleh politisi untuk merebut simpati publik melalui kesederhanaan simbolik: blusukan, gaya bicara egaliter, hingga penampilan yang membumi.
Namun, seperti diingatkan oleh Brookings Institution (2021), populisme sering kali menyimpan paradoks. Semakin dekat seorang pemimpin dengan rakyat, semakin besar peluang bagi kepentingan pribadi untuk bersembunyi di balik legitimasi moral "atas nama rakyat". Dalam banyak studi tentang resource politics, terutama di sektor pertambangan, populisme sering menjadi alat untuk menutupi praktik bisnis yang tidak transparan.
Di sinilah dilema Sherly Tjoa muncul. Ketika publik mengetahui adanya dugaan kepemilikan saham mayoritas (71%) di PT Karya Wijaya---sebuah perusahaan tambang nikel di Pulau Gebe, Halmahera Tengah---reaksi publik pun terbelah. Sebagian melihatnya sebagai fitnah politik. Sebagian lain, dengan skeptisisme yang sehat, bertanya: mungkinkah seorang gubernur sekaligus menjadi pengusaha tambang tanpa menimbulkan konflik kepentingan?
Konflik kepentingan dan etika pejabat publik
Dalam teori tata kelola pemerintahan (public governance), conflict of interest (konflik kepentingan) tidak selalu berarti pelanggaran hukum, tapi selalu merupakan pelanggaran etika publik. OECD (2022) menegaskan bahwa konflik kepentingan muncul ketika tanggung jawab publik dan kepentingan pribadi berpotensi saling memengaruhi, meski belum ada bukti penyalahgunaan wewenang.
Konteks ini penting. Dugaan kepemilikan saham Sherly Tjoa di perusahaan tambang nikel belum tentu melanggar hukum positif, tetapi jika perusahaan itu terbukti beroperasi tanpa izin lengkap---seperti dikutip oleh Suara.com (26 September 2025)---maka kredibilitas moral seorang gubernur tentu akan dipertaruhkan.
Apalagi, UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K) secara eksplisit melarang kegiatan tambang di pulau-pulau kecil. Larangan ini dikuatkan kembali oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-XXI/2023, yang menegaskan bahwa eksploitasi sumber daya di wilayah pesisir kecil harus mempertimbangkan kelestarian ekosistem dan hak hidup masyarakat setempat.