Seorang mantan presiden bukan lagi penguasa, tapi tetap figur publik yang punya utang moral kepada sejarah.
Jokowi kini berada pada posisi unik: ia bisa memilih antara
1.menjadi figur demokrasi yang jujur dan transparan, atau
2.menjadi simbol ketertutupan birokratis yang membiarkan kebenaran kabur oleh loyalitas politik.
Sejarah dunia menunjukkan, para pemimpin besar dikenang bukan karena kekuasaannya panjang, tetapi karena kejujuran dan keberaniannya menjawab pertanyaan yang tidak nyaman.
Richard Nixon gagal karena menutup kebenaran Watergate.
Sementara Nelson Mandela dikenang karena berani terbuka bahkan kepada pihak yang pernah memenjarakannya.
8. Mengembalikan Kepercayaan Publik
Transparansi bukan ancaman bagi kehormatan seorang pemimpin.
Justru, keterbukaan adalah bentuk penghormatan terhadap rakyat.
Dengan tampil menjelaskan sendiri, Jokowi dapat menutup bab panjang spekulasi, mengakhiri polarisasi, dan memberi contoh kepada generasi baru bahwa kejujuran adalah kekuatan, bukan kelemahan.
9. Penutup: Saatnya Berhenti Diam
Kita tidak sedang menuntut pengakuan pribadi, tapi penjelasan publik dari mantan kepala negara.
Sebab, kebenaran administratif adalah bagian dari kejujuran moral.
Dan seorang pemimpin sejati tidak bersembunyi di balik kekuasaan, melainkan berdiri di hadapan kebenaran---bahkan ketika kebenaran itu tidak lagi menguntungkannya.
Referensi:
1.Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
2.Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27 ayat (1).
3.Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Rajawali Pers, 2020.
4.Francis Fukuyama, Political Order and Political Decay, 2014.
5.Putusan PN Jakarta Pusat No. 592/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst (Perkara Bambang Tri Mulyono vs Jokowi).
6.Wawancara Kompas TV dengan Roy Suryo, September 2024.
7.CNN Indonesia, "UGM Nyatakan Ijazah Jokowi Asli," 2023.
Disclaimer: