Transparansi tentang ijazah mungkin tampak sepele bagi sebagian orang, tetapi ia mencerminkan fondasi etika pemerintahan.
Jika keaslian dokumen seorang presiden saja tak bisa diverifikasi publik, bagaimana rakyat bisa percaya pada transparansi proyek, anggaran, dan kebijakan yang lebih kompleks?
Inilah yang disebut moral hazard dalam kepemimpinan publik:
ketika pejabat tinggi dibiarkan menghindar dari klarifikasi, maka standar etika pemerintahan akan terus menurun di bawahnya.
5. Perspektif Hukum dan Politik
Beberapa pakar hukum menilai bahwa membuka keaslian dokumen bukan lagi kewajiban hukum formal setelah masa jabatan usai. Namun pandangan itu tidak menutup kewajiban moral dan politik.
*Prof. Mahfud MD dalam banyak pernyataannya menegaskan, "Kepemimpinan publik bukan hanya urusan administratif, tapi juga moralitas publik."
Ini artinya, keterbukaan dokumen bukan sekadar pembuktian administratif, melainkan wujud tanggung jawab moral.
*Dalam perspektif transparansi demokrasi modern, seperti dikemukakan oleh Francis Fukuyama dalam Political Order and Political Decay (2014),
negara yang sehat adalah negara yang "tidak takut pada kebenaran administratif."
Pemerintah yang terbuka adalah pemerintah yang berani diperiksa, bahkan oleh rakyatnya sendiri.
Dengan demikian, membuka kebenaran soal ijazah bukan sekadar pembelaan, melainkan bagian dari konsolidasi etika demokrasi.
6. Mengapa Diam Justru Memperburuk Citra
Setiap kali pemerintah atau tokoh publik menolak menjelaskan isu penting, publik akan menyimpulkan bahwa ada sesuatu yang disembunyikan.
Dalam konteks Jokowi, sikap diam justru memperkuat persepsi negatif bahwa ada manipulasi administratif di masa lalu.
Padahal, bisa jadi tidak ada apa-apa. Tetapi ketiadaan klarifikasi resmi membuat dugaan itu tumbuh liar.
Krisis kepercayaan publik bukan hanya soal konten, tapi juga soal komunikasi dan keterbukaan.
Presiden---bahkan mantan presiden---tidak boleh diam dalam situasi yang menggerus legitimasi moral kepemimpinannya.
7. Tanggung Jawab Setelah Kekuasaan Berakhir