Transparansi yang Tertunda: Mengapa Jokowi Harus Menjawab Soal Ijazahnya --- Bahkan Setelah Tak Lagi Berkuasa
------------
Isu keaslian ijazah Presiden Joko Widodo kembali mencuat setelah pernyataan Roy Suryo yang mengaku memiliki salinan dokumen tersebut dan membandingkannya dengan versi yang belakangan dinyatakan "asli" oleh pihak tertentu. Polemik ini bukan hanya tentang selembar ijazah, tetapi tentang hak publik untuk mengetahui kebenaran dan tanggung jawab moral seorang pemimpin terhadap bangsa yang dipimpinnya selama satu dekade.
Pertanyaannya kini bukan lagi sekadar: Apakah ijazah itu asli atau tidak?
Tetapi: Mengapa selama 10 tahun isu ini tidak pernah dijelaskan secara jernih dan transparan oleh presiden sendiri?
Dan lebih jauh lagi: Apakah setelah tidak menjabat, Jokowi masih memiliki tanggung jawab untuk membuka kebenaran kepada publik---apapun konsekuensi politiknya?
1. Masalah yang Tak Pernah Diselesaikan
Isu ijazah Jokowi pertama kali mencuat pada 2019 dan semakin mengeras setelah gugatan hukum diajukan ke pengadilan negeri Jakarta Pusat oleh Bambang Tri Mulyono. Pengadilan akhirnya menolak gugatan tersebut, dengan alasan tidak cukup bukti dan bukan kewenangan pengadilan perdata untuk menilai keaslian dokumen negara.
Namun, sejak saat itu tidak pernah ada klarifikasi terbuka langsung dari Jokowi. Penjelasan datang dari bawahannya---staf kepresidenan, Mendikbud, dan bahkan kampus Universitas Gadjah Mada. Semua menyatakan dokumen itu sah, tapi publik tidak pernah diperlihatkan bukti administratif secara langsung dalam format yang bisa diverifikasi publik.
Transparansi berhenti di tengah jalan.
Dan ketika seorang presiden memilih diam, kekosongan penjelasan diisi oleh kecurigaan.
2. Tanggung Jawab Tak Berakhir Bersamaan dengan Jabatan
Secara moral dan konstitusional, tanggung jawab presiden tidak berakhir ketika masa jabatannya usai.
a. Landasan konstitusional