Mohon tunggu...
Ronald SumualPasir
Ronald SumualPasir Mohon Tunggu... Penulis dan Peniti Jalan Kehidupan. Menulis tidak untuk mencari popularitas dan financial gain tapi menulis untuk menyuarakan keadilan dan kebenaran karena diam adalah pengkhianatan terhadap kemanusiaan.

Graduated from Boston University. Tall and brown skin. Love fishing, travelling and adventures.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Menkeu Purbaya Versus Supply Side Economics.

6 Oktober 2025   17:23 Diperbarui: 9 Oktober 2025   10:06 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Suntikan Menkeu Purbaya 200 Triliun versus Supply Side Economics".

---------

Ketika Menteri Keuangan Purbaya menyatakan pemerintah akan menambah likuiditas hingga Rp200 triliun untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, banyak pihak menilai kebijakan ini sebagai langkah "berani". Tetapi di sisi lain, langkah tersebut juga memunculkan tanda tanya besar: atas dasar teori ekonomi apa keputusan sebesar itu diambil?

Apakah Purbaya sedang menerapkan prinsip Supply Side Economics seperti era Ronald Reagan di Amerika Serikat? Ataukah ini sekadar strategi buying time---membeli waktu---agar roda ekonomi tetap berputar di tengah permintaan yang lesu dan tekanan fiskal yang menumpuk?

Mari kita bahas secara sistematis.

1. Asal-usul Teori Supply Side Economics

Supply Side Economics muncul sebagai reaksi terhadap kebijakan Keynesian yang mendominasi pasca-Depresi Besar 1930-an. Bila Keynesian menekankan pentingnya permintaan (demand) sebagai motor ekonomi, maka Supply Side justru berpandangan sebaliknya: penawaran (supply) lah yang menciptakan permintaan.

Jargon yang terkenal dari teori ini berasal dari Say's Law---diciptakan oleh ekonom Prancis Jean-Baptiste Say (1767--1832)---yang menyatakan:

"Supply creates its own demand."

Artinya, setiap produksi barang dan jasa akan menciptakan pendapatan yang cukup untuk membeli barang dan jasa lainnya. Bila produsen diberi ruang untuk memproduksi lebih banyak (melalui insentif pajak, kemudahan investasi, atau suku bunga rendah), maka perekonomian akan berkembang dengan sendirinya.

Teori ini dihidupkan kembali di Amerika Serikat pada akhir 1970-an hingga awal 1980-an, ketika negara itu menghadapi stagflasi---yaitu kombinasi inflasi tinggi, pengangguran tinggi, dan pertumbuhan ekonomi stagnan---di bawah pemerintahan Jimmy Carter.

Namun kebijakan besar yang benar-benar menerapkannya datang di era Ronald Reagan (1981--1989) melalui apa yang kemudian dikenal sebagai "Reaganomics."

2. Arthur Laffer dan Revolusi Pajak Reagan

Salah satu tokoh paling berpengaruh di balik teori ini adalah Arthur Laffer, profesor ekonomi dari University of Southern California. Laffer dikenal dengan "Laffer Curve", sebuah konsep yang menggambarkan hubungan antara tarif pajak dan penerimaan negara.

Kurva tersebut menunjukkan bahwa:
*Jika tarif pajak terlalu tinggi, orang akan kehilangan insentif untuk bekerja atau berinvestasi, sehingga pendapatan negara justru menurun.
*Jika tarif pajak terlalu rendah, pendapatan negara juga kecil karena basis pajak sempit.
*Maka ada titik optimal di antara keduanya, di mana pajak cukup rendah untuk mendorong investasi namun cukup tinggi untuk mendanai negara.

Selain Laffer, beberapa ekonom lain yang mendukung teori ini antara lain:
*Robert Mundell (penerima Nobel 1999), yang juga dikenal sebagai "bapak Euro".
*Jude Wanniski, jurnalis Wall Street Journal yang memperkenalkan istilah Supply Side Economics ke publik.
*Paul Craig Roberts, Wakil Menteri Keuangan AS era Reagan, yang turut merancang kebijakan pemotongan pajak besar-besaran tahun 1981.

Kebijakan ini berhasil menurunkan inflasi dan memicu pertumbuhan ekonomi tinggi di era Reagan, meski juga menyebabkan defisit anggaran yang membengkak.

3. Kekuatan dan Kelemahan Teori Supply Side

Kekuatan utama:
1.Memberi ruang bagi dunia usaha untuk berkembang.
2.Meningkatkan investasi dan produktivitas.
3.Mendorong penciptaan lapangan kerja melalui insentif pajak dan pelonggaran regulasi.

Kelemahannya:
1.Hasilnya tidak instan, efeknya baru terasa dalam jangka panjang.
2.Tidak cocok diterapkan dalam kondisi permintaan lemah---karena produksi tidak akan tumbuh bila pasar tidak membeli.
3.Menyebabkan ketimpangan ekonomi karena lebih menguntungkan kelompok berpendapatan tinggi.
4.Dapat meningkatkan defisit fiskal bila pendapatan pajak turun.

Dengan kata lain, Supply Side Economics efektif bila perekonomian sedang "macet karena terlalu panas" (overregulated atau pajak terlalu tinggi), bukan ketika masyarakat sedang menahan konsumsi karena daya beli menurun.

4. Kebijakan Menkeu Purbaya: Menambah Likuiditas Rp200 Triliun

Dalam rapat dengan DPR pada 2025, Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa (yang sebelumnya dikenal sebagai ekonom makro dan mantan Komisioner LPS) menyatakan bahwa pemerintah akan menambah likuiditas hingga Rp200 triliun ke sistem perbankan.

Tujuannya:
"Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan menjaga stabilitas sistem keuangan."

Langkah ini mirip dengan strategi pelonggaran kuantitatif (quantitative easing) yang dulu dilakukan bank sentral di AS, Eropa, dan Jepang. Hanya saja, konteks Indonesia berbeda.

Berdasarkan data Bank Indonesia, Loan to Deposit Ratio (LDR) per Juli 2025 masih berada di bawah 90%, artinya bank masih memiliki cukup dana untuk disalurkan.
Selain itu, Giro Wajib Minimum (GWM) masih dalam batas aman dan rasio kredit bermasalah (NPL) relatif stabil. Dengan kata lain, masalah ekonomi Indonesia tidak berada di sisi penawaran (supply), melainkan di sisi permintaan (demand)---konsumen enggan belanja, dunia usaha menahan ekspansi, pabrik banysk yang tutup, PHK dimana-mana, jumlah kelas menengah yang semakin menurun, pekerja sektor informal semakin membeludak dan tingkat kepercayaan pasar belum pulih.

5. Apakah Kebijakan Purbaya Berdasarkan Teori Supply Side?

Jika kita uji dengan kerangka teori Arthur Laffer atau Say's Law, maka jawabannya: tidak sepenuhnya.

Langkah Purbaya menambah uang beredar memang seolah meniru prinsip Supply Side: menambah likuiditas agar dunia usaha bergairah. Namun konteks Indonesia saat ini tidak berada dalam kondisi stagflasi seperti AS era 1980-an.

Inflasi Indonesia relatif rendah, pertumbuhan ekonomi masih di atas 4,8%, dan tingkat pengangguran tidak ekstrem. Masalah utama justru pada pelemahan daya beli dan rendahnya permintaan domestik. Maka menambah uang beredar justru berisiko memicu inflasi tanpa meningkatkan output riil.

Selain itu, tingkat undisbursed loan (kredit yang sudah disetujui tapi belum dicairkan) sangat tinggi. Artinya, pelaku usaha sudah diberi dana tapi enggan menggunakannya karena pasar lesu. Dalam kondisi seperti ini, menambah likuiditas bukanlah solusi berbasis teori ekonomi, melainkan tindakan pragmatis---atau dalam istilah awam: common sense.

6. Buying Time di Tengah Ketidakpastian

Beberapa analis ekonomi (CNBC Indonesia, Bisnis.com, dan Bloomberg Technoz) menyebut kebijakan ini sebagai langkah buying time: upaya sementara untuk mencegah stagnasi, sambil menunggu pemulihan konsumsi dan investasi.

Namun risiko dari strategi ini tidak kecil. Dengan tambahan uang beredar Rp200 triliun:
*Nilai tukar rupiah bisa tertekan.
*Potensi asset bubble di sektor properti dan saham meningkat.
*Dan bila permintaan tak juga tumbuh, uang itu hanya akan berputar di sektor finansial, bukan riil.

Inilah mengapa banyak ekonom menilai kebijakan tersebut tidak berakar pada teori makroekonomi yang kokoh. Ia lebih merupakan langkah discretionary---berbasis intuisi dan pengalaman empiris pejabat keuangan---bukan hasil dari penerapan teori seperti Supply Side maupun Keynesian murni.

7. Antara Teori dan Realitas

Dalam dunia ekonomi, teori hanyalah kompas, bukan peta.
Namun seorang menteri keuangan tetap dituntut untuk menjelaskan arah kebijakan dengan landasan ilmiah, apalagi bila menyangkut angka sebesar Rp200 triliun.

Bila kebijakan ini hendak dikaitkan dengan Say's Law, maka harus dijelaskan: supply siapa yang ingin ditumbuhkan, demand dari siapa yang akan menyerapnya, dan mekanisme transmisi seperti apa yang diharapkan bekerja. Tanpa itu, kebijakan likuiditas akan berakhir seperti air hujan yang menggenang di sungai kering---tidak mengalir ke sawah ekonomi rakyat.

8. Penutup: Ekonomi Butuh Rasionalitas, Bukan Respon Refleks

Teori Supply Side Economics pernah menyelamatkan Amerika dari stagflasi, tapi hanya karena saat itu masalah mereka memang berada di sisi penawaran. Indonesia hari ini menghadapi tantangan berbeda: daya beli melemah, penerimaan pajak rendah, dan kepercayaan pasar rapuh. Menambah uang beredar dalam situasi seperti ini lebih mirip mendorong pintu yang sudah terbuka---energinya besar, hasilnya kecil.

Maka, langkah Purbaya layak dikritisi bukan karena niatnya buruk, tetapi karena ia menggunakan obat yang salah untuk penyakit yang berbeda.
Dalam ekonomi, sebagaimana dalam medis, diagnosis yang keliru hanya akan memperburuk kondisi pasien.

Referensi:
1.Jean-Baptiste Say, Treatise on Political Economy (1803).
2.Arthur Laffer, The End of Prosperity (2008).
3.Robert Mundell, Nobel Lecture (1999).
4.Jude Wanniski, The Way the World Works (1978).
5.CNBC Indonesia, "Purbaya Siapkan Rp200 Triliun Likuiditas Tambahan" (2025).
6.Bloomberg Technoz, "Kebijakan Likuiditas Pemerintah: Antara Stimulus dan Risiko Inflasi" (2025).
7.Bank Indonesia, Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia, Juli 2025.
8.IMF Working Paper (2024): Monetary Transmission in Emerging Markets.

Disclaimer:

Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis berdasarkan analisis terhadap data publik dan teori ekonomi makro yang relevan. Tidak mewakili pandangan resmi lembaga atau institusi manapun.

Tagar:

#EkonomiIndonesia #KebijakanMoneter #Purbaya #SupplySideEconomics #LafferCurve #SayLaw #KompasianaEkonomi #AnalisisMakro

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun