BAZNAS: Dana Zakat Saja Masih Dilibas? Paradoks dan ironi negeri ini.
Di negeri ini, ternyata bukan hanya pajak rakyat yang rawan diselewengkan. Bahkan dana zakat---yang seharusnya menjadi instrumen sakral untuk menolong kaum dhuafa---pun bisa dijadikan bancakan. Kasus Triyanto membuka mata kita: seorang whistleblower yang melaporkan dugaan penyelewengan dana di lingkungan Badan Amil Zakat justru dikriminalisasi.
Alih-alih diperlakukan sebagai pejuang integritas, Triyanto dianggap pembangkang. Padahal, bukankah zakat adalah amanah yang lebih tinggi dari sekadar hitung-hitungan anggaran negara?
Whistleblower yang Jadi Tumbal
Whistleblower semestinya dilindungi hukum. Indonesia sudah punya perangkatnya: UU Perlindungan Saksi dan Korban (UU No. 13/2006 jo. UU No. 31/2014), UU Tipikor, serta Perma No. 4/2011. Namun dalam praktik, aturan ini sering tak lebih dari hiasan kertas.
Triyanto justru menjadi pesakitan. Apa salahnya? Hanya karena ia berani membuka dugaan penyalahgunaan dana umat. Inilah pola lama: ketika bawahan melapor, justru ia yang ditumbalkan.
Mengapa Dana Umat Bisa Jadi Bancakan?
Ada beberapa faktor:
1.Budaya feodal birokrasi -- melawan atasan dianggap dosa.
2.Kriminalisasi balik -- laporan diubah menjadi senjata untuk menjerat pelapor.
3.Kelemahan pengawasan internal -- zakat dikelola tanpa transparansi optimal.
4.State capture -- lembaga pengelola dana publik rentan dikooptasi kepentingan elite (Hellman et al., 2000).
Hasilnya? Dana yang mestinya menjadi napas bagi fakir miskin malah rawan diperas di meja birokrasi.
Zakat Bukan Pajak Biasa
Zakat punya dimensi spiritual. Menyelewengkan zakat bukan sekadar korupsi fiskal, tetapi juga pengkhianatan iman. Itu sebabnya kasus seperti ini jauh lebih menyakitkan: bukan hanya merampok hak orang miskin, tapi juga merusak kepercayaan publik terhadap lembaga agama.