Mohon tunggu...
Ronald SumualPasir
Ronald SumualPasir Mohon Tunggu... Penulis dan Peniti Jalan Kehidupan. Menulis tidak untuk mencari popularitas dan financial gain tapi menulis untuk menyuarakan keadilan dan kebenaran karena diam adalah pengkhianatan terhadap kemanusiaan.

Tall and brown skin. Love fishing, travelling and adventures.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Menkeu Baru dan Mantra Growth: Saatnya Meluruskan Logika Ekonomi yang Terlalu Sederhana.

11 September 2025   08:38 Diperbarui: 11 September 2025   08:38 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

2. Aspek Growth Terlalu Disimplifikasi

Pernyataan Sadewa seakan menempatkan "growth" sebagai mantra sakti. Jika growth naik, maka otomatis masalah ekonomi selesai: kemiskinan berkurang, pengangguran turun, inflasi terkendali, bahkan demo pun hilang.

Padahal, literatur makroekonomi modern sudah lama mengingatkan: growth itu hanya  sekadar angka PDB. Yang lebih penting adalah kualitas dari growth itu sendiri.

Ada beberapa pendekatan yang relevan:
*Inclusive Growth
Pertumbuhan harus disertai dengan pemerataan distribusi pendapatan dan penciptaan lapangan kerja yang layak. Tanpa itu, angka PDB bisa naik, tapi kesenjangan juga ikut melebar.
*Sustainable Growth
Pertumbuhan yang merusak lingkungan atau mengabaikan transisi energi hanya akan menciptakan masalah baru di masa depan.
*Human Development Index (HDI)
Kesehatan, pendidikan, dan produktivitas tenaga kerja jauh lebih menentukan kualitas pembangunan daripada sekadar angka pertumbuhan ekonomi.

Indonesia sering disebut mengalami jobless growth: PDB meningkat, tapi penciptaan lapangan kerja relatif stagnan. Contohnya, pertumbuhan sektor digital memang tinggi, tapi tidak banyak menyerap tenaga kerja dibanding sektor manufaktur atau pertanian.

Catatan penting: Pertumbuhan harus dilihat dari kualitas, bukan hanya kuantitas.

3. Faktor Global Belum Masuk

Sadewa juga tampak terlalu fokus pada faktor domestik. Padahal, perekonomian Indonesia sangat terbuka dan rentan terhadap dinamika global.

Beberapa faktor eksternal yang sangat menentukan:
*Volatilitas harga komoditas
Sebagai negara eksportir batu bara, nikel, dan sawit, Indonesia sangat tergantung pada naik-turunnya harga global.
*Ketergantungan impor bahan baku
Industri dalam negeri masih mengimpor sebagian besar bahan baku dan barang modal. Jika rupiah melemah atau harga global naik, tekanan inflasi tidak bisa dihindari.
*Geopolitik
Rivalitas BRICS vs IMF, konflik di Laut Cina Selatan, dan ketegangan Rusia--Ukraina semua punya dampak pada rantai pasok global dan stabilitas keuangan Indonesia.

Mengabaikan faktor-faktor ini sama saja menutup mata terhadap realitas global. Tidak ada jaminan bahwa "growth" domestik akan otomatis membawa stabilitas jika faktor global tidak dikelola dengan hati-hati.

Catatan penting: Analisis ekonomi Indonesia tidak bisa dilepaskan dari faktor global.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun