Mohon tunggu...
Romza M Gawat
Romza M Gawat Mohon Tunggu... -

Menulis

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Menyusul Asal Usul Mahbub Djunaedi

1 Januari 2014   12:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:17 385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menyusul Asal Usul Mahbub Djunaidi

Oleh : Romza

”Mahbub Djunaidi merupakan tokoh gerakan, pejuang ideologi, jurnalis, dan rekan bergaul yang kerapkali kocak alias lucu. Asset perjuangan Mahbub terhadap bangsa Indonesia cukup banyak dan tergo­long besar. Dia memikirkan hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan rakyat kekinian dan di masa mendatang.  Ketika di masa Orde Lama” (Abdurrahman Wahid-Pikiran Rakyat 10/11/1995)

Seorang Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dengan tegas memberikan pernyataan demikian. Sebuah pernyataan yang membuat kita tercengang dan pasti akan menimbulkan rasa penasaran yang tinggi untuk mengetahui lebih dekat siapa sebenarnya sosok Mahub Djunaidi. Seperti apa pengabdian Mahbub untuk kemajuan bangsa ini. Pemikiran hebat apa yang telah di tuangkan untuk masa depan bangsa ini.

Sejauh ini dalam deretan pahlawan nasional kita belum menemukan namanya. Entah apakah karena bangsa ini lupa atau pura-pura tidak tahu. Semua tiu masih ngambang dalam pengetahuan kita.

Untuk menjawab beberapa pertanyaan diatas penulis akan menyajikan melalui hasil kajian literer sederhana dalam tulisan pendek ini. Sebagai penunjang kita meneladani perjuangan, militansi ataupun gerakannya dalam menorehkan pemikirannya sebagai senjata memperjuangkan cita-cita bangsa yang sejahtera dan berkeadilan.

Asal Mahbub Djunaidi

Mahbub Djunaidi namanya, “Pendekar Pena” julukannya. Sosok kelahiran 27 Juli 1939 ini begitu gemar menulis, bahkan ia pernah berstatement “Saya akan menulis dan terus menulis hingga saya tak mampu lagi menulis”. Tokoh kelahiran tanah Abang-Jakarta ini memulai karier menulisnya ketiaka Ia duduk di bangku Sekolah, sebagai Redaktur majalah Sekolah.

Ia adalah anak pertama dari 13 Saudara kandungnya, mengenyam pendidikan SD di Solo. Keluarganya harus mengungsi di SOLO karena kondisi yang belum aman pada saat awal kemerdekaan. Pemahaman Ke-Islamannya nya Ia tempuh di madrasah Mambaul Ulum. Di pesantrenlah Mahbub diperkenalkan dengan tulisan-tulisan Mark Twain, Karl May, Sutan Takdir Alisjahbana, dan lain-lain. “Masa-masa itulah yang sangat mempengaruhi perkembangan hidup saya,” cerita Mahbub. Ayahandanya  H. Djunaidi  adalah tokoh NU dan pernah menjadi anggota DPR-RI hasil Pemilu 1955.

Saat Belanda menduduki Solo, Mahbub Djunaidi muda dan keluarganya kembali ke Jakarta, 1948.  Kemudian ia menjadi siswa SMA Budi Utomo, Sejak itulah ia mulai menulis sajak, cerpen, dan esai. Tulisan-tulisannya banyak dimuat majalah Siasat, Mimbar Indonesia, Kisah, Roman dan Star Weekly. Melanjutkan perjuangan ayahandanya ia juga menjadi anggota Ikatan Pelajar Nahdhatul Ulama (IPNU). Kuliahnya di UI terhenti hanya sampai tingkat II. Kegiatannya dalam organisasi mengantarkan Mahbub ke jabatan pemimpin harian Duta Masyarakat (1958), dan Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada 1965, kemudian Ketua Dewan Kehormatan PWI, sejak 1979. Terakhir, di samping sebagai Wakil Ketua PB NU, ia juga duduk di DPP PPP.

Sebagai kolumnis, tulisan Ketua Umum PB PMII Tiga Periode Ini kerap dimuat harian Kompas, Sinar Harapan, Pikiran Rakyat, Pelita, dan TEMPO. Kritik sosial yang tajam tanpa kehilangan humor adalah ciri khas tulisan Sang Pendekar Pena ini. Akibat tulisannya yang tajam, Ia pernah ditahan selama satu tahun di tahun 1978. jeruji besi dan gelapnya penjara tak menghambat nalar menulisnya. Di dalam penjara ia menerjemahkan Road to Ramadhan, karya Heikal, dan menulis sebuah novel Maka Lakulah Sebuah Hotel. Jaya, 1975.

Sosok yang memimpin PMII sejak tahun 1960-1967 ini  mengagumi pengarang Rusia Anton Chekov dan Nikolai Gogol. Sedang Penulis Dalam Negeri yang Ia kagumi adalah Buya Hamka dan Pramudya Ananta Toer.  Meski sering berkunjung ke luar negeri, pengalaman yang menarik baginya adalah , ” bergaul dan berdiskusi dengan Bung Karno,Sang Revolusioner RI,” Ujar ayah tujuh anak, yang sudah dua kali naik haji ini. Baginya tanpa Soekarno, Indonesia tak mungkin bersatu di era Revolusi 1945.

Profil Singkat Beliau: Ketua Umum PB PMII tiga periode, yaitu periode 1960–1961, hasil Musyawarah Mahasiswa Nahdliyin pada saat PMII pertama kali didirikan di Surabaya Jawa Timur. Periode 1961-1963, Hasil Kongres I PMII di Tawangmangu Jawa Barat. Dan Periode 1963-1967, hasil Kongres PMII II di Kaliurang Yogyakarta. Pada masa kepemimpinan sahabat Mahbub Djunaidi inilah PMII secara politis menjadi sangat populer di dunia kemahasiswaan dan kepemudaan, sampai pada periode pertama sahabat Zamroni. Pernah menjabat sebagai Ketua Umum PWI pusat dan pimpinan Redaksi harian Duta Masyarakat (1965–1967), ketua dewan kehormatan PWI (1979 – 1983), anggota DPR GR (1967-1971), Wakil Ketua PB NU (1984-1989), Wakil sekjen DPP PPP, Anggota DPR/MPR RI (1971-1982), Pencetus “Khittah Plus” , Ketua Majlis Pendidikan Soekarno dan anggota mustasyar PB NU (1989-1994).

Usul Mahbub Djunaidi

Setelah kita mengenal profil Mahbub Djunaidi dengan segala kelebihannya. Terasa hambar apabila kita belum mengetahui kehebatan pemikirannya yang dituangkan dalam goresan-goresan pena. Dari goresan-goresan pena beliau yang tersebar di berbagai media itulah kemudian Indonesia mengenal dekat. Bahkan harus berterimakasih atas kontribusi pemikirannya. Ketajaman analisanya terhadap dinamika sosial, kepeduliannya terhadap budaya bangsa dan dedikasinya dalam mengembangkan jurnalistik di Indonesia.

Tulisan-tulisan atau goresan-goresan pendekar pena dan gerakan-gerakannya ini yang dimaksud “usul” Mahbub Djunaidi untuk bangsa ini. Kekritisannya tidak hanya di implementasikan dengan aksi turun jalan seperti umumnya mahasiswa pada waktu itu. Selain itu, beliau mengambil jalan yang lebih strategik untuk menyampaikan aspirasinya. Bahkan lebih menyentuh dan “terkenang” pada mereka yang menjadi target kritikannya. Yaitu dengan menulis di media-media seperti Kompas, Tempo, Duta Masyarakat, Pikiran Rakyat, Pelita dan Sinar Harapan.

Adapun beberapa tulisan mantan ketua umum PWI pusat 1960 ini yang dimuat media dari tahun 1972-1988 diantaranya adalah :

No.

Judul Tulisan

Media Penerbit

Tgl/Bln/Thn Terbit

1.

Dinamisasi Via Binatang

Tempo

26 Maret 1972

Per-“Kapling”-an Parpol

Tempo

22 April 1972

Demokrasi : Martabat dan Ongkosnya

Tempo

27 Juli 1972

Jepang Modern dari Sudut Pandang yang Lain

Tempo

23 Juni 1973

Nostalgia Bulan November

Tempo

17 November 1973

Kepemimpinan Baru, Nah !

Tempo

8 Desember 1973

Parlemen Pakai Karcis

Tempo

Januari 1974

Mengunyah-Ngunyah Strategi

Tempo

02 Februari 1974

Bukan Ini Bukan Itu

Tempo

15 Maret 1975

Sekitar Peranan Mulut

Tempo

5 April 1975

Bulan Puasa Anak-Anak Sekolah

Tempo

26 Mei 1979

“Buku Petunjuk” Pendidikan Politik Sejak Dini

Kompas

10 Maret 1981

Pergeseran Tata Nilai dalam NU

Merdeka

12 Juni 1982

Mengapa Tidak

Tempo

12 Februari 1983

Mengapa Tidak

Tempo

5 Januari 1985

Afrika

Tempo

23 Maret 1985

Miskin

Asal Usul Kompas

18 Juni 1985

Kota

Asal Usul Kompas

23 November 1986

Kecuali

Asal Usul Kompas

30 November 1986

Sebutan

Asal Usul Kompas

15 Februari 1987

Elly

Asal Usul Kompas

1 Maret 1987

Reinkarnasi

Asal Usul Kompas

7 Juni 1987

“Status Quo”

Asal Usul Kompas

16 Agustus 1987

Dialog

Asal Usul Kompas

29 November 1987

Wajah

Asal Usul Kompas

20 Maret 1988

Kolumnis

Asal Usul Kompas

17 Juli 1988

Selain karya ilmiah populer yang tercantum diatas masih banyak tulisan pimpinan Redaksi harian Duta Masyarakat (1965–1967) ini. Ia juga menerbitkan dua buku kumpulan esai mengenai jurnalistik: Kolom Demi Kolom (1986), dan Humor Jurnalistik (1986).Pengagum sastrawan Rusia Anton Chekov dan Nikolai Gogol inipun juga lihai meracik karya fiksi yang sampai menjadi novel yang berjudul Dari Hari ke Hari, Angin Musim, Binatangisme dan lain-lain.

Beberapa karya terjemahannya juga seperti ;Di Kaki Langit Gunung Sinai (karya Mohamed Heikal, 1979), Seratus Tokoh Paling Berpengaruh dalam Sejarah (karya Michael H. Hart, 1982), 80 Hari Berkeliling Dunia (karya Jules Verne, 1983), Cakar-Cakar Irving (karya Art Buchwald, 1982), Lawrence dari Arabia (karya Philiph Knightly, 1982), dan lain-lain.

Komplek sudah karya Mahbub Djunaidi dalam dunia kepenulisan baik fiksi maupun non-fiksi yang telah dipersembahkan untuk bangsa ini. Kritiknya terhadap pemerintah, gagasannya untuk kehidupan rakyat yang lebih sejahtera dan gerakan sosial menuju masa depan yang lebih baik. Benar-benar ditorehkan dengan nyata dan terdokumentasikan melalui tulisan dengan rapi. Sehingga anak-anak bangsa yang akan meneruskan “usul”nya melalui gerakan media atau dunia jurnalistik mudah meneladaninya.

Menyusul Mahbub Djunaidi

Menjadi aktifis tidak harus selalu berdebat, tidak harus selalu turun aksi ke jalan. Tapi, mengkritisi pemerintah dan menyampaikan aspirasi dengan jalan yang lebih santun dan tidak terkesan anarkis sebenarnya telah diajarkan oleh mantan ketua umum pertama Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yaitu Mahbub Djunaidi.

Menulis ide, menuangkan gagasan. Menyampaikan wacana, menawarkan solusi. Jalan yang lebih sering ditempuh Mahbub adalah dengan melalui tulisan sebagai senjatanya dalam berperang di media melawan ketidak adilan. Sederhana sekali filosofisnya, tulisan lebih permanen daripada suara. Selama tulisan mempunyai tata nilai yang tinggi. Media akan tertarik untuk mempublikasikannya. Tersebarnya media inilah yang lebih mudah dibaca oleh banyak orang ataupun masyarakat umum. Dan tidak mudah hilang seperti suara yang terkadang hanya satu menit kita sudah lupa dengan apa yang disampaikan seseorang. Disisi lain tulisan juga bisa dibaca berulang-ulang semau kita. Sedangkan suara apabila kita tidak merekamnya musathil untuk bisa diulang kembali.

Rasional sekali ketika Mahbub Djunaidi lebih sering memilih jalan berjuang dengan pena dalam gerakannya. Pola pikir seperti inilah yang membawa dia tidak harus berkoar-koar disertai cucuran keringat dibawah terik matahari saat menyampaikan aspirasinya pada birokrasi.

Dengan kepekaannya dalam merespon dinamika sosial yang terjadi. Ketajamannya dalam menganalisis permaslahan bangsa. Kekritisannya dalam memberikan solusi. Mahbub Djunaidi sudah banyak berbuat “baik” terhadap pembangunan nasional. Terutama dalam alternatif-solutif melestarikan dunia jurnalistik Indonesia.

Hal ini dapat kita lihat melalui penyusunan perundang-undangan pers
semasa almarhum menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR
GR) tahun 1965. Selain dengan memberikan teladan melalui eksistensinya sebagai penulis hebat, lugas dan unik.

Pemikirannya terhadap dunia jurnalistik dan perjuangannya dalam mengembangkan kepenulisan di Indonesia. Tindakan inilah yang patut dicatat dengan “tebal” oleh bangsa Indonesia. Bahwa Mahbub adalah “Pahlawan Pers Nasional”.

Sebagai pahlawan memang sudah sangat layak jejak Mahbub Djunaidi diteruskan oleh penerus bangsa khususnya pemuda dan mahasiswa. Pertama, merawat tradisi menulis. Tradisi menulis merupakan kebiasaan yang tidak boleh ditinggalkan apalagi dilupakan. Terlebih bagi mahasiswa sebagai kaum intelektual dan kaum akademis. Seperti yang telah diajarkan Mahbub melalui tulisan-tulisannya yang sampai ratusan karya tulis populer telah ditulisnya. Puluhan buku telah diterbitkannya. Ratusan sastra sudah dirangkainya.

Kedua, mengembangkan dunia pers. Mahbub Djunaidi telah memberikan jalan kepada kita semua. Perjuangannya di PWI dan tindakannya merumuskan undang-undang pers. Merupakan “pintu pembuka” untuk generasi setelahnya agar terus berkarya dan mendapatkan hak yang sama dalam menyampaikan pendapatnya melalui media. Kebebasan inilah yang harus dikembangkan oleh kita untuk mengontrol dan mengawasi serta memberikan solusi melalui media. Indonesia tidak boleh ketinggalan zaman, media yang ada baik cetak maupun elektronik sampai pada media online harus tetap dikembangkan.

Ketiga, menjadi penulis harus totalitas dan konsisten. Hal ini dicontohkan Mahub dengan eksistensi tulisannya yang setiap hari minggu dimuat di rubrik Asal Usul harian KOMPAS selama 9 tahun tanpa jeda sampai akhir hayatnya. Yang kemudian lebih dari 100 judul tulisannya telah dibukukan menjadi ‘Mahbub Djunaidi Asal Usul’. Sambil masih diminta juga penerbitan pers lainnya menulis topik-topik tertentu seperti Tempo, Pelita dan lain-lain. Menjadi wartawan bahkan pimpinan redaksi Duta Masyarakat masih ia sandang.

Setiap hari, setiap jam, setiap menit bahkan setiap detik dia manfaatkan hanya untuk menulis. Kejeniusannya tidak pernah kering dengan ide. Kekritisannya tidak pernah tumpul karna kesibukannya. Wacana yang dikembangkan tidak pernah basi dan kaku.

Keempat, seorang penulis mempunyai karakter tersendiri dalam tulisannya. Cara pandangnya terhadap sebuah permasalahan yang tajam. Keunikannya dalam menyusun kata-kata yang tidak pernah lepas dari guyonan atau humor. Sindirannya yang tidak mudah membuat orang marah. Ejaannya ynag tidak terpaku pada EYD (Ejaan Yang Disempurnakan). Kalimat-kalimatnya yang dirangkai penuh dengan satra. Inilah gaya tulisan Mahbub Djunaidi disetiap karya tulisnya.

Inilah teladan yang harus diambil oleh penerus Mahbub Djunaidi sebagai tindakan untuk “menyusul” perjuangannya. Mulai dari “Asal” sebagai Aktifis Pemuda di IPNU, Pelopor Gerakan Mahasiswa di PMII, Tokoh Jurnalis di PWI, Kolumnis dan sastrawan diberbagai media, bahkan politisi. Mahbub selalu mempunyai “Usul” untuk kepentingan orang banyak yang dituangkan melalui tulisan-tulisannya di berbagai media. Serta gerakan-gerakannya diberbagai organisasi kemahasiswaan maupun kemasyarakatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun