Tembok pembatas diantara rumah keluarga Dibyo dengan keluarga Sartono telah berumur empat puluh tahun. Tingginya hanya dua meter. Beberapa bata merah nampak mencuat karena plesternya mengelupas. Lumut muncul dibeberapa bagian saking lembabnya.
Rumah Dibyo berukuran kecil tanpa halaman. Dulunya, disebelah timur rumah pak Dibyo lahan kosong milik pak Jayeng. Sinar matahari menyapa paling awal bila pagi terbit. Tapi semenjak dibangun rumah dengan keegoisan tinggi, sang surya sudah menutup mata bagi rumah pak Dibyo. Hanya ketika jelang siang matahari menderma sinarnya. Rumah Jayeng menghadap ke timur tanpa halaman. Oleh karenanya pada bagian belakang ditingkat, khusus untuk menjemur pakaian. Hal itu membikin pak Dibyo kian meradang.
Bukan pak Dibyo kalau tidak merespon segala hal yang merugikan pihaknya. Ketika merenovasi rumah, Dibyo tidak mau kalah, mendesain bangunannya menjadi tingkat dua. Sama, bagian atas untuk menjemur pakaian. Jadi keduanya berdempetan hanya dibatasi tembok setengah meter. Tidak heran kedua belah pihak saling tahu apa yang dicuci mereka, termasuk jeroannya.
Denah rumah keluarga Dibyo mirip kapak atau huruf L. Pegangannya sebagai akses keluar masuk. Namun sempit, hanya bisa dilewati satu motor. Sedangkan mata kapak sebagai rumah.
Halaman belakang rumah Sartono dijadikan kebun. Bermacam-macam tanaman tumbuh subur: matoa, srikaya, duwet, pepaya, jambu, belimbing wuluh, petai, pisang. Ada yang merimbun, hingga menjulang. Keberadaan pepohonan disamping menghasilkan kesejukan juga memicu kedatangan berbagai macam hewan; Luwak, Kadal, Bunglon, kupu-kupu, lebah serta beberapa macam burung: emprit kaji, gereja, derkuku, pun burung hantu sesekali hinggap. Jadi jika pagi menyapa, kicau burung berhamburan memeriahkan sabdaNya.
Perlu diketahui, ketiganya telah meninggal dunia. Yang menempati sekarang adalah anak-anaknya. Perubahan penghuni merubah juga hubungan pertetanggaan. Masa kecil keakraban mereka sangat erat. Itu dulu. Apakah sekarang masih berlaku?
Â
***
"Jangan lupa kunci gerbang dibawa, mas". Banowati mengingatkan Agus, suaminya. "Nggak bawa motor?"
"Sudah janjian mau dijemput Kandar". Agus menarik ritsleting jaketnya. "Berangkat dulu"