Mohon tunggu...
Sri Romdhoni Warta Kuncoro
Sri Romdhoni Warta Kuncoro Mohon Tunggu... Buruh - Pendoa

• Manusia Indonesia. • Penyuka bubur kacang ijo dengan santan kental serta roti bakar isi coklat kacang. • Gemar bersepeda dan naik motor menjelajahi lekuk bumi guna menikmati lukisan Tuhan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mimpi Setan Alas

27 Januari 2022   22:18 Diperbarui: 27 Januari 2022   22:30 367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar menggunakan Picarts

Badanku remuk redam. Seharian kerja memotong kain membuat pinggangku nyeri bak dihantam beton pengganjal gerbang. Kalau sudah begini aku sesegera mungkin mandi untuk memupus kelelahan. Guyuran air dingin sungguh mujarab menghilangkan rasa capek. Jadi benar,-seperti pendapat umum-air adalah terapis paling hebat.

Usai mandi, segelas teh panas menemaniku sambil menunggu azan tiba. Bila dua waktu sholat terlampaui aku segera saja beranjak tidur. 

Selama bekerja ditempat yang baru(hampir empat bulan) aku menyetop segala macam ajakan bertemu diwaktu malam. Bekerja di tempat yang baru itu dipaksa patuh tegak lurus pada aturan. Kalau ada lowongan lain, mungkin aku akan minggat dari pabrik sialan tersebut. Hanya karena keterdesakkan, pemotongan ini menjadi pelabuhanku.

Kamarku cukup bersih. Ini point penting sehingga sanggup membiusku-dengan cepat dibekap lelap, tertidur pulas. Hingga mimpi mengerikan itu datang mengganggu......
Aku tersengal-sengal, kakakku membangunkanku.
"Makanya kalau tidur berdoa dulu", sarannya.
"Asem tenan! Dia datang lagi, mencekikku", sungutku
"Siapa yang datang? Kamu mimpi apa?"
Tidak aku jawab pertanyaannya, segera kuhempaskan tubuh kembali. Kantuk membungkam mulutku.
"Jangan lupa doanya!", ulangnya.

Mimpi yang menghantuiku bisa jadi karena kebusukanku. Di pabrik itu. Bossku seorang keturunan Arab. Nenek moyangnya-dari Hadramaut-berkelana ke negeri ini hingga beranak pinak. Dia menjadi keturunan yang kesekian. Jadi tidak heran bila segala yang ada di bumi pertiwi telah merasuk kesumsum tulang belakangnya.

Bekerja dibagian pemotongan kain mengharuskan kami berpartner. Karena itu kecocokan hati sangat diperlukan antara kedua belah pihak. Kekuatan serta kelihaian dalam menggunakan gunting sangat menentukan berapa banyak gulungan kain yang bisa kami garap. Bagi pendatang baru, bau kain sangat memuakkan, menusuk tajam. Serpihan halus dari guntingan mengganggu pernapasan.

 Memakai masker sangat dianjurkan disini. Tapi, beberapa rekanku nekat saja. Aku tidak mau ambil resiko buat paru-paruku. Jadi menutup muka menyisakan dua mata, bagian SOP ku.


Aku meminta partnerku berhenti. "Mau ke WC dulu". Langkah kaki menuju arah dimana peturasan itu berada. Jika akan ke sana, dipastikan melewati ruangan si boss. Pintunya selalu dibiarkan terbuka agar kalau ada buruhnya yang lalu lalang tanpa juntrungan bisa mengeluarkan umpatan,"Hei! Aku nggaji kowe ora dinggo dledhar-dledher! Kowe arep neng ndi!"(hei! Aku menggaji kamu bukan untuk bolak-balik! Kamu mau kemana!).
Biasanya kami jawab,"WC, boss..."
"Bola-bali mesti kuwi. Opo  WC ne tak gempur wae ben ora dinggo alesan"(bolak-balik pasti itu. Apa WCnya di rusak saja biar tidak dijadikan alasan). Kami tahu, menjawab merupakan kesia-siaan. Jadi, diam tindakan paling tepat.

Aku cuek saja melenggang dan sudah siap menerima umpatan. Deg-degan, seperti menunggu dentuman meriam.... Kutunggu semburannya. Hening... Aneh. Ini sebuah keajaiban. Aku berbalik, mengendap mengintip kedalam. Kosong! Sifat jailku muncul. Ruangan aku masuki. Mata jelalatan menyatroni sudut-sudutnya. Di atas meja besar, sebuah bungkusan dari daun pisang tergeletak didampingi segelas kopi. Sentuhan jemariku menyentuh dinding gelas. Panas. Berarti baru dibuat. Tanganku meraih bungkusannya. Berat. Apa isinya? Tanpa pikir panjang aku segera keluar sambil menenteng bungkusan itu. Kabur menuju WC.

Kembali bekerja seperti biasa.
"Lama banget, Yan", tanya pak Jumadi, partnerku dalam memotong kain.
"Biasa, pak", jawabku sambil mengarahkan telunjuk ke perut. Pak Jumadi tersenyum. Ritme kerja kami terganggu ketika Boss masuk di areal potong. Semua mingkem, sibuk dengan lagaknya masing-masing. Sekilas, sudut mataku menatap parasnya. Ada kebingungan bercampur kemarahan.
Hanya aku yang tahu sumber sumbu ledaknya.

Seminggu kemudian, tindakan sama berlaku. Bungkusan daun pisang aku embat. Kali ini bossku tidak mampu menahan amarahnya. Ia masuki areal kerja sambil berteriak," Sopo sing njikuk bungkusanku. Seminggu kepungkur bungkusanku ilang. Sak iki meneh. Mesti ono sing maling. Ngaku wae!"(siapa yang mengambil bungkusanku. Seminggu yang lalu bungkusanku hilang. Sekarang lagi. Pasti ada yang mencuri. Mengaku saja) ledakannya menggetarkan jagat perkainan. Mas Parmin sampai menutup mulut melihat daya amarahnya.
"Siapa yang tadi keluar ruangan ini. Ngaku!"
beruntung, saat beraksi yang keluar ruangan bukan cuma aku. Dan kami bisa membuat alibi yang tepat. Karena gagal membekuk pelakunya, boss keluar sambil berteriak. Dari jauh kami menangkap teriakan bergemuruh kembali sambil memanggil mbak Yuni, carik pabrik.

Istirahat siang aku bergegas ke masjid. Bungkusan daun pisang aku bawa dengan menyamarkannya di balik sarung. Biar orang tidak curiga. Azan sudah berkumandang beberapa menit yang lalu. Gelombang kecil memasuki paturasan untuk ambil wudlu. Aku menempati pojok areal masjid. Bungkusan aku buka dan menikmati isinya. Getuk, ketan putih, ketan hitam, cenil, canthel, klepon bersatupadu dengan taburan gula pasir serta parutan kelapa.
"Seperti minggu kemarin. Enak tenan. Orang Arab ternyata doyan juga panganan wong Jowo"
Aku kunyah pelan-pelan. Sholatnya bisa ditunda.
"Opo ora bosen. Ben esuk cepak ane gethuk ketan?"(apa tidak bosan. Tiap pagi sajiannya gethuk ketan)

"Kenapa kau ambil lagi bungkusannya"
Aku celingukan. Kepala tolah-toleh mencari sumber suara.
"Kau tidak akan menemukanku. Aku adalah malaikat hatimu. Kenapa kau ulangi?"
Suapanku terhenti. Mulutku penuh. Kembali aku mengunyah.
"Orang berTuhan itu tidak boleh mencuri", kata suara tanpa bentuk.
Aku segera merampungkan suapan agar suara itu lenyap. "Jangan kau ulangi lagi!"
 Aku mengelap mulut memakai punggung tangan biar serpihannya tidak menempel. Segera bergegas ambil wudlu.

Hingga beberapa hari, bossku belum juga tahu siapa malingnya. Jebakan pernah coba ia pasang. Namun, aku tidak semudah itu dikadali. Sampai lebih dari sebulan dia sudah lupa. Semua tenang dan ritme kerja teratur kembali. Kasus pencurian gethuk ketan pelan-pelan hilang dari peredaran. Sampai....

"Dasar kurap!! Maling bangsat!" dia uring-uringan sampai menggebrak-gebrak meja. Bertubi-tubi kemarahannya dilampiaskan pada benda sekitarnya. Mubeng koyo kitiran(berputar seperti kincir). Hingga areal pemotongan menjadi santapan berikut,"Iki wes gebangeten! Sopo sing maling gethukku!"(ini sudah keterlaluan. Siapa yang mencuri gethukku)
Matanya melotot bak banaspati, mukanya merah padam, giginya gemelutuk. Sangar.
Semua menghentikan gerak. Tercekat melihat adegan puncak dari pemilik pabrik.  

***


Dipojok areal masjid aku menikmati hasil jarahanku.
"Kenapa masih saja kau ulangi?"
"Jangan salahkan aku. Sampeyan malaikat, tapi kalah sama setan. Dia berhasil menggerakkan hatiku. Bujukannya cukup kuat. Sampeyan kurang greget, gagal mengimbangi"
"Bertobatlah"
"Ya, aku akan bertobat"

Yang menjadi keherananku, kok rekan-rekanku betah di pabrik dengan boss sejenis Hitler. Ternyata, selidik punya selidik mereka sungkan serta mencoba mengikuti anjuran kakak si boss. Jadi begini, bossku punya kakak bernama Husein. Tabiat mereka itu bertolak belakang. Sang kakak berhati malaikat sedang adiknya setan alas.
Kak Husein-menurut cerita rekan-rekan seniorku-seringkali berpesan pada pekerja di tempat adiknya,"Tolong dibetah-betahin ya. Jangan diambil hati omongan adik saya". Tapi bukan hanya itu, kak Husein itu hatinya murah, suka menolong kami. Apapunlah, bahkan dalam bentuk materi. Inilah yang membuat rekan-rekan kami mematuhi nasehatnya. Jadi, segala cacian boss ke kami sudah menjadi makanan sehari-hari. Istilahnya, telinga kami kuat, nyaris seperti baja. Bergeming, walau dihujani kata-kata pedas.
Saya, pekerja baru juga mengakui kebaikannya,"Bagaimana Yan? Betahkan disini?". Aku hanya nyengir.

***

Beberapa bulan yang lalu ketika baru sepedaan, aku bertemu kak Husein ditikungan dekat pabrik.
"Kenapa ente keluar, Yan?" dia menepuk-nepuk pundakku. Aku jelaskan alasannya. Dia tersenyum. "Masih sering ke majlis taklim kan?"
Aku mengangguk. Kami berbincang lama hingga.....mantan bossku muncul. Dia melihat kearah kami sembari berjalan mendekat. Segera saja aku pamit ke kak Husein. Hitler itu terengah-engah berusaha mempersempit jarak. Aku pancal sepedaku tanpa perlu berpikir panjang. Menggenjot dengan kekuatan penuh. Mirip peluru kendali, blas!. Dadaku berdentum karena udara memenuhi paru-paru terlalu cepat. Aku masih sempat menengok kebelakang, kulihat kakak adik itu melihat upaya yang aku kerahkan. Telingaku disambar teriakan kencang mantan bossku,"Yaaan... Mandekko!. Tak tukokke gethuk ketan..."(Yaaan.....berhentilah. Saya belikan gethuk ketan).[Selesai]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun