Isi surat itu menguatkan aku akan dugaanku selama ini. Logo ciptaanku digunakan tanpa ijin dan menempel pada toilet jongkok. Aku ketahui ketika kunjungan disebuah gedung pertemuan di kabupaten tetangga. Bentuk itu tidak asing. Garisnya, bahkan warna coklat pada desain itu sangat familiar.Â
Namun, aku selalu mencoba memupus pikiran negatif yang menempel dibenak. Aku sudah berhasil melupakannya. Tapi di akhir tahun itu, Desember 2019, Tuhan memberikan keajaiban buatku, kedatangan Andreas.
Jalanan kian sepi setelah bakda Isya'. Biasanya, kota ini malah menggeliat jika rembang senja pergi menuju tapal batas. Namun, wabah berhasil membuat perbandingan. Maklumat Kapolri menambah tekanan pada pelaku usaha, pun di waktu malam.Â
Derit rantai pada tumpukan gir menimbulkan irama kodok, mengoyak kesunyian. Gelayut sepi kian tebal seiring sorot cahaya bulan muntah dari tabirnya. Tanpa basa-basi pelukan sepi membalut sudut kota yang aku datangi. Gerai-gerai telah ditutup.Â
Lampu-lampu kota dibeberapa titik dipadamkan sebagai upaya agar tidak menarik kumpulan orang, atau menambah daya mistis di tengah kondisi ini. Sweeping tiap malam dilakukan oleh aparatur negara bila mendapati kerumunan masih menyala.Â
Jam sepuluh malam batas dari semua kegiatan. Tapi beberapa lainnya mematok batas diri lebih awal. Bahkan beberapa mall menutup gerainya sesuai masa KLB.
"Pak", suaraku lirih sambil menepuk tepuk tubuh-tubuh yang tergolek pulas didepan toko.
"Ada apa?", suara nestapa berpadu letih. Mereka mengeryitkan mata. Nyawanya belum terkumpul.
"Buat beli makanan, pak", kataku sembari menyodorkan  selembar uang merah.
"Alhamdulillah....akhirnya besuk bisa makan", ujar si bapak
"Memangnya sepi ya, pak?", tanyaku bodoh