Bisikanmu mengejarku tanpa lelah kala sebatang jalan pulang aku lalui-dengan menumpang angin yang menguntit dibelakang. Kau berharap kesukaanku pada alampada menjadi celah agar aku meluangkan waktu untuk mencumbuimu. Hitungan tahun nirlelah terus kau pahat ditepian, tapi aku belum tergerak menyudahi. Kesibukanku merusak padang penantianmu.
Seperti hutang yang tertulis dicatatan kumal carik pabrik batik, aku harus melunasi. Karena janjiku adalah hutangku.
Kwaru, aku bukan kekasih gelapmu. Juga bukan ksatria sejatimu. Jangan berharap aku memujimu bak penyair zaman batu. Salah, kalau itu keinginanmu, kubur dalam-dalam diantara batu karang.
Sepoi angin menerjang, ayunan kaki memberi jejak dihamparan pasir juga disemua lekukmu. Lembutmu menyentuh telapak kakiku. Riak hingga tamparanmu menorehkan rasa berlebih hingga mendirikan bulu kuduk.
Sesemak menyembul padat, pandan laut menengok kaku. Bongkahan bukit karang menjulang mirip Rahwana bertiwikrama, kasar, tajam, mampu mencabik kulit, melumat tulang rangka.
Diantara semua yang pernah aku temui, kau bukan satu-satunya yang tercantik. Bila rajutan nilai dipaksakan, kau hanya menempati jajaran 6. Jangan kecewa, karena itulah takdirmu.
Kwaru, gelitikmu mampu melenakan pemujamu. Oleh karenanya, banyak yang memberi tembakan peringatan agar jangan terbuai oleh bujuk rayumu.
Sadar akan hal itu, aku hanya memelukmu ala kadarnya, sebatas rindu dihorison waktu.
Keberadaanmu lahir tanpa pesta perayaan. Gincu diujung bibirmu hanya berujud lahan parkir sebagai tempat menghitung berapa pemburumu. Aku adalah satu diantara itu.
Kau lahir dari lukisan Tuhan. Sayangnya, tidak banyak pihak yang memolesmu agar bersinar lebih terang. Kau dibiarkan berdiri polos bersama kawan-kawanmu berjejer dipesisir selatan samudera Hindia.