Mohon tunggu...
Roman Rendusara
Roman Rendusara Mohon Tunggu... Petani - Memaknai yang Tercecer

Roman Rendusara lahir dan tumbuh sebagai anak kampung di Rajawawo, Kec.Nangapanda, Ende-Flores, NTT. Kini, menetap di kampung sebagai seorang petani, sambil menganggit kisah-kisah yang tercecer. Kunjungi juga, floreside.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Surga Tersembunyi Dibalik Menghafal Butir P4

19 Agustus 2016   13:04 Diperbarui: 19 Agustus 2016   13:20 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak-anak pergi ke sekolah. Gambar diambil di Langa, Desa Langagheda, Kec Bajawa, Ngada-Flores. Foto: Roman Rendusara

Bagi kami sekolah itu seperti surga. Meski perasaan cemas dan takut selalu menghadang, ketika kami menginjak pagar sekolah dari gamal dan bambu, ketika masuk halaman sekolah. Kami menyapu halaman sekolah dengan sapu lidi yang kami buat sendiri kemarin sorenya. Andai halaman cukup berdebu, tanpa diperintah, kami menyiram dengan beberapa percikan air dengan tangan-tangan kecil kami. Air pun kami bawa dari rumah masing-masing. Diisi dalam bambu. barangkali tiga ruas. Dua bukunya dilubangkan. Begitu biasa kami gunakan sebagai tempat mengisi air, waktu kami mengambil air minum dari kali.

Setelah menyapu halaman sekolah, lorong-lorong berlantai tanah dan belakang ruangan kelas, dekat kebun sekolah, kami masuk ke dalam kelas. Pelajaran akan segera dimulai. Guru sudah berdiri di depan pintu masuk ruangan kelas. Tertanam kuat dalam diri kami, entah siapa yang mencantumkan dalam benak kami; sekolah itu surga.

Kami sudah terbiasa dengan doa pagi sebelum pelajaran dimulai. Doa-doa kami indah dan syahdu. Kata-kata diungkapkan dengan jelas. Sikap doa kami tampilkan sempurna seperti yang telah diajarkan guru agama. Kami bersyukur lantang walau dalam hati kecil kami menyembunyikan perasaan lain. Masih banyak untaian-untaian doa yang tidak mungkin didaraskan. Kecemasan dan ketakutan adalah dua perasaan yang tidak mungkin diungkap-jujurkan di depan kelas seperti doa Muhammad Syafii, dewan terhormat yang doanya sangat heboh itu. Kami sembunyikan erat dalam hati sekuat-kuatnya.

Sekolah adalah surga bisa jadi hanya untuk menghibur kami. Sebab pagi-pagi buta, ayam belum berkokok, kami sudah bangun. Ketika kantuk belum sungguh lenyap. Kami meraih bambu yang kami sebutnya po’o. Segera turun ke mata air sekitar 5-7 km. Meski masih sangat gelap kami berlari sesekali, biar siapa yang terlebih dahulu tiba di mata air. Lalu kami mandi sebasah dan sebersih-bersihnya. Tanpa perlu pakai sabun. Yang penting membasahi tubuh. Dan biarkan dia mengering dengan sendirinya. Lalu kamii mengenakan sarung dengan angka delapan. Model fashion ala kampung yang sedang tren di kala itu.

Itu semua untuk menghalau cemas dan takut. Kami cemas dan takut jika tidak mandi pagi. Ketika lonceng sekolah berbunyi kami was-was. Kami berbaris dengan gugup. Guru-guru kami akan periksa, siapa yang tidak mandi pagi. Telinga dijewer dan ditempeleng itu risikonya. Tidak lain, agar kami tampil bersih dan rapi.

Seragam sekolah kami pun mesti disisip di dalam celana. Kami menyebutnya ‘seragam isi dalam’. Rapi bagi kami tidak perlu harus pakai sepatu. Sepatu hanya kami gunakan hari Senin, hari wajib upacara bendera. Hari-hari lain kami lebih banyak tanpa alas kaki. Sendal pun tidak.

Di setiap hari Senin, saat upacara bendera, dijedah pengumuman dari kepala sekolah, hati kami kembali tidak tenang. Kami diperiksa, siapa yang hari Minggu kemarin tidak ke Gereja, tidak sembahyang. Siap-siap sapu lidi akan mendarat di betis kaki. Itu hanya salah satu cara, agar kami rajin berdoa.

Cemas dan takut belum berakhir dengan, siapa yang tidak mandi pagi dan siapa yang tidak ke Gereja. Di ruangan kelas, pelajaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila) kami berkeringat dingin. Kami maju ke depan kelas. Satu per satu sesuai nomor urut, atau diacak oleh guru. Di hadapan teman-teman kelas, kami harus lantang melafalkan butir-butir Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Kami harus hafal 45 butir-butir P4 itu, kalau tidak ingin penggaris semeter bilah bambu landing di betis kaki, juga biar nilai mata pelajaran PMP tidak merangkak di zona merah. Jika sebaliknya demikian, pelajaran PMP mendapat angka merah, dipastikan tidak naik kelas.

PMP bagi kami melebih kami takut akan Tuhan. Kami cemas. Cubit pedis hingga tempeleng bolak-balik akan diterima. PMP merotani kami. Menghukum kami jika kami tidak menghafalnya. Hingga suatu ketika teman saya tidak sadar buang air kecil di celana lantaran takut dan gugup. Bukan karena tidak bisa menghafal, tapi kami terlanjur takut dan gugup. Hafalan menjadi lenyap. Otak kosong melompong jika guru sudah pegang bilah bambu.

Itulah neraka yang tercipta dalam pendidikan kami, di kampung terpencil dulu. Meski demikian, kami bersyukur. Kami dididik menjadi pribadi yang disiplin, rajin berdoa dan kerja keras. Butir-butir P4 yang kami hafalkan di bawah pohon bambu belakang sekolah itu menjadikan kami pribadi yang jujur, toleran dan beradab.

Justru di balik ‘neraka-neraka’ itu tersimpan surga tersembunyi; kami tahu mengucap salam ketika bertemu guru, kami menyapu sendiri halaman sekolah tanpa perlu ada cleaning service atau penjaga sekolah, kami menyiapkan air untuk kamar WC guru. Dan kami bisa membuat sapu lidi tanpa perlu sekolah mengeluarkan biaya untuk membelinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun