Mohon tunggu...
Roman Rendusara
Roman Rendusara Mohon Tunggu... Petani - Memaknai yang Tercecer

Roman Rendusara lahir dan tumbuh sebagai anak kampung di Rajawawo, Kec.Nangapanda, Ende-Flores, NTT. Kini, menetap di kampung sebagai seorang petani, sambil menganggit kisah-kisah yang tercecer. Kunjungi juga, floreside.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Filsafat Kerja dan Profesi

27 Maret 2021   21:39 Diperbarui: 2 April 2021   15:15 1247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sang istri sedang membersihkan saluran air di sawah. Foto: Roman Rendusara

Hidup kita sudah ada yang mengaturnya. Ia berjalan dengan sendirinya. Ia mengalir dalam sebuah sistemnya. Ia berputar dalam siklusnya. Ia konsisten bergerak dalam rodanya.

Siapa yang mengatur roda kehidupan ini? Semua orang tak pernah tahu pasti. Ilmu pengatahuan hanya menjawab secara samar-samar. 

Agama mengatakan, yang mengatur kehidupan adalah Zat Tertinggi, Yang Ilahi dan Yang Transendental. Filsafat pun hanya menawarkan jawaban-jawaban dari berbagai pendapat.

Kembali lagi, siapa yang mengatur kehidupan ini. Filsafat sepakat, pokoknya tidak penting mencari tahu sesuatu/sesosok penyebab dari semua yang terjadi dalam kehidupan ini. Pokoknya hidup ini sudah ada yang mengaturnya. Titik.

Memaknai Kehidupan

Selebihnya, kita disuruh memaknai tiap-tiap peristiwa. Kita diminta mencari pesan terdalam dari setiap kejadian. Kita diajak menemukan dan merenungkan dimensi lain dari setiap kisah. 

Hanya cara inilah, kita dapat memahami eksistensi yang mengatur kehidupan ini. Sebab, hidup yang tak bisa dimaknai adalah hidup yang tak pantas untuk dihidupi (Sokrates; 470-399 SM).

Misalnya, ketika kita mengalami sakit dan mati. Kita memaknai dengan akal sehat, bahwa sakit, penyakit dan kematian hanyalah cara kehidupan menemukan titik keseimbangannya. Hidup manusia setiap hari senantiasa menuju keseimbangan. Titik seimbang adalah kesempurnaan.

Kita berjalan di jalan berdebu. Mungkin kita tidak memakai masker. Debu masuk ke hidung menuju paru-paru. Lalu, kita terbatuk-batuk. Itu artinya tubuh sedang mencari keseimbangan. 

Batuk sebagai cara bagian tubuh kita (paru-paru) tidak mau menerima debu dan kotoran menempelnya. Cara terbaik, jika melintasi jalan berdebu, gunakan masker.

Misal lain, tetangga saya, tiga malam berturut-turut tidak tidur malam. Sebab sedang merawat istrinya yang sedang sakit parah. Hari terakhir, ia langsung mandi pagi, dengan alasan tetap masuk kantor. Tapi fakta berkata lain, ia terjatuh di kamar mandi, lalu meninggal dunia. 

Itu artinya, badan terlalu lelah. Badan yang kelelahan itu tidak siap disiram air. Ia kaget. Maka, jatuh tak sadarkan diri. Cara terbaik untuk menjaga keseimbangan badan dengan istrahat yang cukup.

Saya jarang ke dokter apabila sakit kepala, batuk, dan flu. Tubuh sedang membutuhkan keseimbangan.  Maka, asuplah dengan makanan yang bersih dan bergizi. Kemudian, tidur secukupnya. Saya pun bisa bertahan hidup hingga kini.

Filsafat Kerja dan Profesi

Begitu pula dengan kerja dan profesi kita. Kehidupan sudah ada yang mengaturnya. Rezeki sudah ada yang memberinya. Berkat sudah ada yang melimpahkannya. 

Tugas kita adalah menemukan cara mendapatkannya. Kita diberi akal sehat (otak) untuk bertindak menciptakan kiat mendapatkan berkat-berkat yang melimpah itu.

Sebagian orang percaya, pendidikan yang baik-didukung pilihan jurusan yang tepat dapat memperoleh berkat melimpah. 

Misalnya, seseorang yang lulus dari Universitas Negeri terkenal cepat mendapat pekerjaan. Ditawari jabatan enak. Gaji meluap, tak bisa ditampung saku baju. Hingga memiliki aset banyak. Ia pun bisa bertahan hidup.

Namun, seorang pemulung. Mungkin tak berpendidikan. Ia rajin mengais sampah. Lalu, menjualnya kepada pengepul. Ia mendapatkan rezeki. Ia bisa membeli makan. Ia membeli aset lainnya. Ia bisa bertahan hidup.

Juga, seorang petani di kampung, ia tidak pernah mengenyam pendidikan. Apalagi belajar ilmu pertanian. Ia rajin bekerja, mengolah sawah. Ia panen. Ia bisa makan. Sebagian dijual, untuk kebutuhan lain. Ia bisa bertahan hidup.

Jadi, sekali lagi, rezeki sudah ada yang memberinya. Profesi apapun yang kita emban adalah pilihan alternatif, supaya kita dapat mengambil bagian dalam berkat yang telah disediakan.

Pilihan Tidak Sempurna

Namanya pilihan, bukanlah sesuatu yang pasti, bukan satu-satunya. Ia tidak sempurna. Ia bisa saja salah. Tergantung, pertimbangan-pertimbang yang diperhitungkan sebelum menentukannya.

Sama seperti profesi. Kita mungkin sudah merancang pendidikan yang baik, kampus ternama, dan program studi paling dicari dalam dunia kerja bagi anak-anak kita. Ingatlah, itu hanya pilihan. Itu hanya suatu cara kita mempersiapkan masa depan mereka.

Kadang, kita diterpa keputus-asaan. Saat profesi tidak sesuai dengan gelar yang disandang. Pekerjaan tidak simetris dengan cita-cita yang diangankan. Sarjana Kehutanan (baca: orang kehutanan/bukan orang hutan) bekerja di bank. Lulusan Akademi Keperawatan mengabdi di Koperasi Simpan Pinjam (KSP).

Kita boleh bersujud, profesi sesuai ujud. Tapi hidup sudah dialurkan. Rezeki sudah diatur. Tinggal, bagaimana kita menemukan cara-cara tepat, cerdas dan terbaik  untuk mendapatkan porsinya. Semakin tepat, cerdas dan baik, tentu memperoleh porsi rezeki yang lebih banyak.

Tiga Cara

Cara cerdas berarti memaksimalkan akal budi. Mengoptimalkan otak untuk berpikir. Kita membutuhkan pertimbangan-pertimbangan rasional. Misalnya, bila ingin menjadi penulis andal, mulailah dengan banyak membaca buku setiap hari, dan lakukan latihan menulis catatan harian.

Dengan kata lain, gunakan otak, untuk menggerakkan kaki dan tangan untuk bekerja. Sangat tidak etis mengatakan seseorang pemalas. Ia hanya belum optimal memanfaatkan otaknya. Ia belum memerintahkan kaki dan tangannya agar segera mencari jalan, untuk mendapat berkat.

Kita pun membutuhkan cara-cara yang tepat untuk menentukan pilihan-pilihan hidup atau profesi. Cara yang tepat didukung kelenturan berpikir agar dapat menghadapi kenyataan. Biar bisa bertahan hidup, seorang sarjana kehutanan memilih bekerja di bank. 

Bukan karena terpaksa dan tidak ada pilihan pekerjaan lain, melainkan ia memilih pekerjaan di saat yang tepat. Dan, rasa suka atau tidak suka atas pekerjaan akan menemukan prosesnya sendiri.

Begitu pula, kita membutuhkan pilihan-pilihan profesi yang baik. Pilihan "yang baik" berlaku standar etika, moral dan kesusilaan yang berlaku. Tidak baik mendapatkan rezeki dengan cara mencuri atau melacurkan diri, itu misalnya. Juga, tidak harus dengan korupsi untuk menjadi seorang kaya.

Akhirnya, dalam hidup ini berlaku hukum keteraturan. Hukum keteraturan senantiasa mencari keseimbangan-keseimbangan ketika berhadapan dengan realitas yang berbeda.

Profesi kita adalah bagian dari cara kita mencari keseimbangan hidup. Supaya kita bisa makan, tidak sakit, lalu kita tidak mati, dan supaya kita bisa bertahan hidup, kita membutuhkan pilihan profesi. Pilihan-pilihan profesi apapun senantias berdasarkan pertimbangan tepat, cerdas dan baik.

Tidak ada pilihan yang selalu sempurna. Ibarat, besi yang kuat selalu ditempa dalam tanur api. Proses yang akan selalu menguji, sejauhmana kita bertahan. Hal-hal yang merintangi, hanyalah realitas, bahwa kita mesti lebih cerdas, tepat dan lebih baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun