Mohon tunggu...
Roman Rendusara
Roman Rendusara Mohon Tunggu... Petani - Memaknai yang Tercecer

Roman Rendusara lahir dan tumbuh sebagai anak kampung di Rajawawo, Kec.Nangapanda, Ende-Flores, NTT. Kini, menetap di kampung sebagai seorang petani, sambil menganggit kisah-kisah yang tercecer. Kunjungi juga, floreside.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Jejak Belanda di Fort Rotterdam Makassar

23 November 2017   11:12 Diperbarui: 23 November 2017   11:22 1943
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Denah Benteng Ujung Pandang. Foto: Roman Rendusara

Langit Kota Makassar siang itu cerah. Panasnya sangat terik. Kami rombongan peserta Lokakarya Nasional (Loknas) Inkopdit Jakarta menuju perhentian terakhir sessi 'jalan -- jalan' hari itu. Tempat tertuju, Fort Rotterdam. Benteng ini berada dalam wilayah Kelurahan Baru, Kecamatan Ujung Pandang, Sulawesi Selatan.

Nama Fort Rotterdam diberikan oleh Belanda setelah memenangkan perang yang berakhir dengan penandatanganan perjanjian Boengaya pada 18 Nopember 1667. Selain itu sebagai penghargaan atas jasa -- jasa Laksamana Kompeni Belanda Cornelis Speelman memimpin perang di Makassar. Rotterdam adalah kota kenangan, tempat kelahiran Cornelis Speelman di Belanda.

Sebagian rombongan sejenak istrahat setelah lelah mengelilingi Benteng. Foto: Roman Rendusara
Sebagian rombongan sejenak istrahat setelah lelah mengelilingi Benteng. Foto: Roman Rendusara
Sebelumnya, Fort Rotterdam adalah Benteng Ujung Pandang yang dibangun oleh Raja Gowa IX, Daeng Matanre Karaeng Manguntungi Tumaparial Kallonna. Penyelesaian pengerjaannya di bawah kekuasaan putranya, Raja Gowa X, I Manriwa Gau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tanipallangga Ulaweng pada 1545.

Sejak di pintu gerbang masuk suasana ramai sudah terasa. Gerobak -- gerobak penjual berjejer dan berdesakan di pintu masuk. Pengunjung sedang ramai, mirip suasana pasar. Banyak penjual berseliweran sambil menawarkan barang jualan, entah buku -- buk bacaan, koran, makanan hingga pakaian.

Kami masuk. Di tengah benteng rumput menghijau. Para pengunjung tak segan -- segan menginjaknya meski sudah diberikan lorong berlantai rabat semen. Hal ini mungkin dianggap biasa saja sebelum ditegur oleh petugas berwenang.

Kami menelusuri setiap lorong dan ruangan. Beristrahat sejenak di salah satu sudut atas tembok banteng. Fort Rotterdam disusun dengan tinggi dinding bervariasi, antara 7 meter dan 5 meter terendah. Ketebalannya sekitar 2 meter. Tembok Benteng dikerjakan dengan teknik susun timbun dengan balok batu cadas. Ukurannya bervariasi, rata -- rata pajang 60 cm, lebar 34 cm dan tebal 20 cm. Terdapat 14 unit bangunan khas Belanda dan sebuah unit peninggalan Jepang. Sehingga jumlah 15 unit bangunan di dalam Fort Rotterdam.

Sebagian lukisan dalam museum La Galigo. Foto: Roman Rendusara
Sebagian lukisan dalam museum La Galigo. Foto: Roman Rendusara
Menurut seorang pemandu, pada zaman penjajahan Belanda (1667 -- 1942), benteng berbentuk mirip kura -- kura ini digunakan sebagai markas komando pertahanan, pusat perdagangan, pusat pemerintahan, pemukiman pejabat -- pejabat Belanda dan tahanan bagi penentang Belanda. Menurut catatan sejarah, Pangeran Diponegoro pernah ditawan di dalam benteng ini pada 1834 -- 1855).

Kini selain sebagai pusat pembelajaran sejarah bangsa, juga sebagai pusat budaya Sulawesi Selatan, sarana wisata budaya dan pendidikan. Di dalam benteng terdapat Kantor Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala wilayah Sulawesi dan museum La Galigo.

Sederatan koleksi museum yang ditata rapi dan bersih. Foto: Roman Rendusara
Sederatan koleksi museum yang ditata rapi dan bersih. Foto: Roman Rendusara
Kami berkesempatan masuk dan melihat seisi museum La Galigo yang menggunakan salah satu unit bangunan dalam Fort Rotterdam. Beberapa koleksi jejak kebudayaan seantero Sulewasi dipajang rapi, seperti alat permainan rakyat, parang, alat kesenian, peralatan pertanian, beberapa jenis perahu, sepeda peninggalan Belanda dan koleksi lontarak (aksara lontar).

Salah seorang peserta rombongan Petrus F.M Dae sedang mengamati keris. Foto: Roman Rendusara
Salah seorang peserta rombongan Petrus F.M Dae sedang mengamati keris. Foto: Roman Rendusara
Seorang pemandu menceritakan, nama museum La Galigo adalah hasil pemaknaan mendalam akan sebuah karya sastra La Galigo. Kecerdasan dan keberanian sosok Sawerigading dalam La Galigo membuat epos (kisah yang menceritakan riwayat perjuangan kepahlawanan) ini mendunia. Konon, perantau -- perantau Sulawesi selalu sukses berkat spirit "Tiga Ujung" ala Saweridang dalam La Galigo; (1) ujung lidah berarti kecerdasan, (2) ujung senjata berarti keberanian, dan (3) ujung kemaluan yang berarti perkawinan.

 Dan "tiga ujung" inilah yang turut membakar semagat juang penulis kini sebagai buah dari mengunjungi Fort Rotterdam dan museum La Galigo.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun