Mohon tunggu...
Roman Rendusara
Roman Rendusara Mohon Tunggu... Petani - Memaknai yang Tercecer

Seorang anak kampung, lahir dan bertumbuh di Rajawawo, Ende. Pernah dididik di SMP-SMA St Yoh Berchmans, Mataloko (NTT). Belajar filsafat di Driyarkara tapi diwisuda sebagai sarjana ekonomi di Universitas Krisnadwipayana, Jakarta. Terakhir, Magister Akuntansi pada Pascasarjana Universitas Widyatama Bandung. Menulis untuk sekerdar mengumpulkan kisah yang tercecer. Blog lain: floreside.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lopijo

7 September 2016   10:36 Diperbarui: 8 September 2016   09:16 364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Ilustrasi. Sumber: sidomi.com

“Kau terlalu cepat lupa, Merty”

“Iya, saya ingat”, akunya dengan sedikit tawa, tapi masih terlalu pelit. "Oiya, ka'e dulu yang kasih info itu di sini".

Nasib tak bersalah. Hidup tak mesti dicerca. Tuhan sudah menentukan setiap keberuntungan. Maka bermuram duka jangan terlalu berlama-lama. Pilihan kita adalah sabar. DIA tidak akan memberi kita lebih saat kita lupa bersyukur.

Ka’e, saya stres karena tidak lulus”, katanya lalu mengajak saya menikmati kopi dan beberapa potong roti bakar.

Merty anak yang cantik, secantik rata-rata gadis sekampungnya. Wajah manis mewangi seperti beras merah Lopijo, dengan lesung pipi tak sedalam kali Waewoki. Merty pun anak yang cerdas. Saya tahu, dia lulusan terbaik dari kampus ternama di Kupang. Selain itu, ia multi talenta.

Saya sudah menduga, Merty sangat sedih karena tidak lulus.

“Sudahlah, Merty. Tahun depan dicoba lagi saja”, saranku.

“Ka’e, bukan soal itu. Ini karena hal teknis. Saat pengumuman lewat telpon saya masih di kampung, ada keperluan yang mendesak”

Garis wajahnya nampak kecewa. Baris-baris sedih turut membuntut. Dua tangan mengatup sambil menopang dahi. Ia menunduk seperti dengan sikap berdoa.

Saya tahu, Merty memang bertekad kuat. Seleksi tahap pertama secara online, ia lulus. Ia belajar tekun mempersiapkannya. Tes kedua, tertulis di Kupang ia lulus. Tersisa tes terakhir, sesi wawancara di Kupang dengan jadwal menunggu panggilan via telpon.

Ka’e, su tahu, kampung kami yang paling pelosok di Ngada. Sudah ada akses jalan raya dibuka tapi kendaraan belum berani masuk. Musim hujan lebih parah. Hasil kebun seperti kemiri dijual ke Bajawa, dengan pikul, jalan kaki. Namanya kampung Lopijo. Sinyal handphone tak setongkat pun muncul. Makanya saya terlambat terima info lulus. Pihak penyelenggara menolak saya alasan tidak bisa dihubungi”, katanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun