Mohon tunggu...
Roman Rendusara
Roman Rendusara Mohon Tunggu... Petani - Memaknai yang Tercecer

Roman Rendusara lahir dan tumbuh sebagai anak kampung di Rajawawo, Kec.Nangapanda, Ende-Flores, NTT. Kini, menetap di kampung sebagai seorang petani, sambil menganggit kisah-kisah yang tercecer. Kunjungi juga, floreside.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Cerita Sahabatku Fanus dan Roda Motornya

6 Maret 2014   23:35 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:10 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

MATAHARI meracik sinarnya di terminal bus antar kota dalam propinsi itu, hangat disapu sepoi – sepoi angin selatan menusuk kantong – kantong badan setiap penunggu angkutan kota. Dia tidak peduli, mengangkat tas penumpang yang baru saja turun dari sebuah bus pagi dari Maumere, ibukota Kab Sikka, lalu kembali memanggul satu tandan pisang, dan tangan menenteng satu buah dirigen minyak kelapa sebesar cirgen Bimoli isi lima liter. Pikirku, apa bisa, Supra X 125 itu bisa muat dua tas ransel pakaian, satu tandan pisang Bugis, satu buah dirigen minyak kelapa, ditambah si empunya barang – barang itu. Profesi tukang ojek memang ‘tidak ada obatnya’, ungkapan orang Flores untuk kerja keras dan penuh perjuangan. Demi lima sampai sepuluh ribu rupiah jauh dekat, barang – barang sebanyak itu tetap sekali muat.

Saya lelah, didera kejamnya jalan darat yang meliuk – liuk, mabuk seperti seekor ular sehabis menghirup tembakau.  Perjalanan tiga jam lebih cukup mendera. Kasihan juga bayi yang digendong ibunya dalam bus tadi, menangis terus karena kepanasan, biar tahu dulu, umumnya bus antar kota di Flores tanpa AC, penumpang berpeluh keringat. Baju saya sampai basah kuyup.

Eja...mau kemana ngero?”, panggil si tukang ojek itu setelah mengatur posisi barang di atas motornya, ‘Eja’ adalah panggilan akrab orang Ende untuk sesama laki – laki. Saya masih belum kenal. Kepalanya masih melekat dengan helm. Dia mendekat dan menepuk – nepuk bahu saya.

Eja, su lupa ko?”

Saya masih terbengong dan mulut saya seolah masih letih untuk diajak bicara, sepintas saya mulai mengingat suaranya.

“Ah, kau Fanus to?” Langsung saya menyebut namanya. Dia tertawa renyah, membuka helmnya dan kami dua berpelukan. Seperti bertemu kekasih hati yang lama berpisah jarak dan waktu. Sahabat lama, sama – sama jadi konjak (sebutan kondektur di Flores) oto Cinta Indah, seperti angkot kalau di Jakarta, jurusan Pagal – Ruteng. Sopirnya om Dedy, juga orang Ende hanya istrinya asli dari Pagal, salah satu kota kecamatan di Kab Manggarai – NTT. Sekarang, di mana om Dedy, saya tidak tahu lagi kabar beritanya.

Eja, hidup ini seperti saya pu roda motor itu, ...”

Fanus sepertinya tahu apa yang akan saya tanyakan. Dia langsung mengurai awal kisah hidupnya sampai seperti ini. Beberapa baris kata saja dia ungkapkan. Keburu rautnya redup dan tertunduk sejenak. Bahasanya tertahan. Entah apa yang mau dia katakan. Sampai ia pamit untuk mengantar penumpangnya.

“Baik su e, saya antar penumpang dulu tapi saya catat kau pu nomor ko

Saya menyebut nomor telepon genggam saya, jarinya lincah mengetik nomor saya di layar handphone buatan Cina-nya, kemudian berlalu dari hadapan saya.

Penampilannya tidak berubah, celana jeans dipadu switer hijau yang tidak segar lagi, sebab mungkin sudah terlalu lama, atau tidak pernah dicuci, saya tidak tahu persis. Ada penutup kepalanya persis seperti saya lihat dia biasa pakai dulu. Tubuhnya pendek lebar dengan jalan miring kiri – kanan silih berganti, seperti tidak sama panjang kedua kakinya. Tidak ada asesories yang melekat di tangannya. Hanya lemparan senyum khas setiap bertemu orang dan tertawa terkekeh – kekeh bertemu teman akrab.

Hmmm...Fanus...Fanus, pikirku sambil meneguk air kemasan bertulis ‘Kelimutu’. Dia teman yang baik. Sahabat sejati saat saya selalu diserang kanker, alias kantong kering 12 tahun lalu. Di sebuah rumah makan di Ruteng, tempat saya sering makan, selesai makan uang tidak cukup, Fanus menyelamatkan saya dari caci – maki mas – mas Padang itu. Maklum dia kondektur senior, sesekali ia sopir tembak truk kuning plat merah untuk angkut pasir batu pada hari minggu atau libur, makanya dia banyak uang. Saya, cuma kondektur ikut – ikutan kalau diajak om Dedy ke Ruteng.

Sampai saya cabut, tinggalkan Pagal, Fanus sudah membeli sepetak tanah di Kelurahan Pagal, membangun rumah, lengkap dengan perabot rumah tangganya. Dia juga sudah punya seorang anak, hasil ‘kecelakaan’ dengan Enu Merry, Enu itu panggilan akrab buat gadis di Manggarai. Kemudian, mereka hidup seatap dan seranjang, hanya saja perkawinan mereka belum dikukuhkan Gereja waktu itu.

***

Di ‘kampung tengah’ saya mulai berisik, lalu mendekat di warung makan di luar terminal, tidak terlalu jauh, dan duduk semeja dengan dua ibu muda seragam kuning bercap PEMKAB ENDE melengkung.

Telepon genggam saya bergetar. Sebuah pesan singkat masuk dari nomor baru.

Eja, terpaksa saya kabur dari Pagal setahun setelah kau pergi. Enu Merry baru jujur, kalo Jeff, anak yang dilahirkan itu bukan darah daging saya. Sekarang saya sendiri, kontrak rumah di lorong Bita Beach, kerja seperti yang eja lihat tadi, cukup buat makan dan bayar cicil motor”.

Saya menarik nafas sejenak, sedikit terdiam, melonggo tidak percaya, sambil bertanya kecil dalam hati, inikah nasib hidup manusia ibarat roda motor itu.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun