Mohon tunggu...
rolariaskania
rolariaskania Mohon Tunggu... Tenaga pengajar

Ketenangan didapatkan dalam ibadah

Selanjutnya

Tutup

Politik

Tragedi Ambruknya Mushola Ponpes Al-Khoziny: Cermin Kelalaian Negara dalam Menjamin Hak Pendidikan Oleh Retri Aulia (Mahasiswi)

14 Oktober 2025   22:34 Diperbarui: 14 Oktober 2025   22:42 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Reruntuhan bangunan pondok pesantren (Sumber : bbc.com)

Duka mendalam menyelimuti Indonesia. Runtuhnya konstruksi mushola di Pondok Pesantren Al-Khoziny, Sidoarjo, Jawa Timur, yang menyebabkan 67 orang meninggal dunia, menjadi salah satu musibah terbesar di tahun 2025. Jumlah korban jiwa ini bahkan melampaui tragedi banjir bandang di Bali sebelumnya (idn.times/12/10/2025). Peristiwa ini bukan sekadar bencana, tetapi juga alarm keras atas kelalaian sistemik dalam pengawasan infrastruktur pendidikan di negeri ini.

Pakar teknik sipil, Dr. Ir. Mudji Irmawan, M.T., menyebut adanya kelalaian serius dalam pengawasan konstruksi mushola tersebut. Dalam pembangunan gedung bertingkat, risiko keruntuhan sangat tinggi apabila tidak dilakukan sesuai standar, tanpa perencanaan matang, dan pengawasan yang mengacu pada Standar Nasional Indonesia (SNI) (Medco/13/10/2025). Dengan kata lain, tragedi ini sebenarnya dapat diminimalkan jika pembangunan dilakukan sesuai prosedur yang berlaku.

Hasil investigasi awal menunjukkan bahwa bangunan mushola tersebut tidak memenuhi standar kekuatan struktur. Lantai dasar yang seharusnya menopang tiga lantai di atasnya tidak dibangun dengan perhitungan teknis yang memadai. Setiap lantai tampak tidak memenuhi standar keamanan konstruksi. Kondisi ini mengindikasikan keterbatasan anggaran yang parah. Biaya pembangunan hanya bersumber dari iuran wali santri dan donatur yang terbatas, sehingga proses pembangunan dilakukan secara swadaya tanpa melibatkan ahli konstruksi profesional. Akibatnya, keselamatan penghuni terabaikan.

Persoalan keterbatasan anggaran ini mengarah pada pertanyaan yang lebih mendasar: mengapa pondok pesantren harus berjuang sendiri membangun infrastrukturnya? Pendidikan merupakan hak fundamental setiap warga negara, dan negara berkewajiban menyediakan fasilitas pendidikan yang layak dan aman. Namun, realitas hari ini menunjukkan bahwa pendidikan telah bergeser menjadi komoditas komersial produk sampingan dari sistem yang gagal menempatkan rakyat sebagai prioritas utama.

Jika ditelusuri lebih dalam, banyak lembaga pendidikan swasta, termasuk pesantren, jarang mendapatkan alokasi dana memadai dari pemerintah. Terjadi kesenjangan mencolok antara sekolah negeri dan swasta, padahal keduanya memiliki tanggung jawab yang sama dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. 

Skema bantuan pemerintah sering kali mensyaratkan rasio murid, status akreditasi, atau kelengkapan administrasi yang sulit dipenuhi oleh pesantren kecil. Akibatnya, mereka terpinggirkan dari akses pendanaan negara dan terpaksa bertumpu pada swadaya masyarakat. Tragedi ini sejatinya mencerminkan lemahnya peran negara dalam menjamin hak pendidikan rakyatnya.

Ketidaklayakan infrastruktur pendidikan bukan semata akibat keterbatasan dana masyarakat, melainkan buah dari kelalaian negara dalam menjalankan perannya sebagai ra'in pengurus urusan rakyat. Akar persoalan ini berakar pada sistem politik dan ekonomi kapitalistik sekuler, di mana negara tidak berfungsi sebagai pelayan kebutuhan publik, melainkan sebagai regulator pasar. Dalam sistem ini, pendidikan diperlakukan layaknya komoditas ekonomi: rakyat "membeli" layanan publik dengan pajak, sementara negara "menjual" layanan tersebut dengan standar yang sering kali di bawah harapan. Relasi ini menjadikan pendidikan kehilangan nilai kemanusiaannya dan berubah menjadi transaksi administratif semata.

Berbeda dengan sistem kapitalisme, dalam sistem Islam pendidikan dipandang sebagai kebutuhan publik (hajat 'ammah) yang menjadi tanggung jawab penuh negara. Negara wajib menyediakan sarana dan prasarana pendidikan yang layak, aman, dan berkualitas bagi seluruh warga tanpa membedakan status lembaga, baik negeri maupun swasta. 

Prinsip ini berakar dari keteladanan Rasulullah saw. ketika beliau menjadi kepala negara di Madinah. Pada masa itu, masjid dijadikan pusat kegiatan keilmuan, dan terdapat sekitar 40 masjid yang berfungsi sebagai tempat belajar. Rasulullah juga menyediakan shuffah tempat tinggal bagi kaum fakir miskin dari kalangan Muhajirin, Ansar, dan pendatang yang sekaligus digunakan untuk belajar membaca, menulis, dan menghafal Al-Qur'an. Selain itu, terdapat pula kuttab, yakni ruangan kecil yang digunakan secara khusus untuk kegiatan belajar mengajar.

Dalam sistem Islam, negara bertanggung jawab menjamin akses pendidikan gratis dan berkualitas bagi seluruh rakyat. Pembiayaannya bersumber dari Baitul Mal (kas negara) yang memiliki pos-pos pendapatan tetap berdasarkan hukum syariah. Pos-pos tersebut terbagi menjadi dua:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun