Mohon tunggu...
Roland Arthur Budhimulja
Roland Arthur Budhimulja Mohon Tunggu... Pemuda yang Tertarik tentang Sistem Ekonomi di Dunia

Our scars can destroy us, even after the physical wounds have healed. But if we survive them, they can transform us. They can give us the power to endure, and the strength to fight.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Alasan Metode Perhitungan Kemiskinan Perlu Dikaji Ulang, Garis Kemiskinan BPS: Akurat atau Usang?

11 Februari 2025   14:39 Diperbarui: 30 Maret 2025   13:45 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kemiskinan di Indonesia yang Tak Kunjung Usai. Sumber: JDIH Kabupaten Sukoharjo, 2024.

"Pejabat menggunakan statistik dengan cara yang sama seperti pemabuk menggunakan tiang lampu, yakni sebagai penyangga, bukan penerangan," ucap Andrew Lang, penyair dan novelis asal Skotlandia. Di Indonesia, angka kemiskinan kerap menjadi bahan diskusi publik, terutama saat Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data terbaru. Namun, apakah angka tersebut benar-benar mencerminkan realitas di lapangan? 

Metode perhitungan garis kemiskinan yang digunakan BPS telah lama diterapkan, tetapi banyak pihak menilai bahwa pendekatan ini sudah tidak lagi relevan dengan kondisi ekonomi dan sosial sekarang. Jika metode perhitungan sejak 1998 ini tidak diperbarui, bisa jadi angka yang kita lihat hanyalah ilusi statistik yang tidak menggambarkan kesulitan nyata yang dihadapi masyarakat miskin, seperti bayangan samar yang tak menyentuh akar permasalahan. Akibatnya, pemerintah tidak dapat membuat kebijakan secara tepat dan justru dapat menyengsarakan rakyatnya.

Jika metode perhitungan sejak 1998 ini tidak diperbarui, bisa jadi angka yang kita lihat hanyalah ilusi statistik yang tidak menggambarkan kesulitan nyata yang dihadapi masyarakat miskin, seperti bayangan samar yang tak menyentuh akar permasalahan.

Garis kemiskinan menurut BPS dihitung berdasarkan kebutuhan minimum makanan dan non-makanan. Komponen utama perhitungan ini adalah pengeluaran untuk kebutuhan dasar dengan patokan konsumsi 2.100 kkal per kapita per hari. Namun, apakah 2.100 kkal masih relevan di dunia yang penuh dengan tantangan baru ini? 

Sementara kebutuhan pangan tetap penting, pola konsumsi manusia tetap berkembang begitu cepat seiring perubahan gaya hidup. Selain itu, ditambahkan biaya kebutuhan pokok non-makanan seperti perumahan, pendidikan, dan kesehatan. Apakah biaya-biaya tersebut benar-benar mencerminkan kenyataan hidup yang semakin gila seperti biaya sewa rumah di kota-kota besar semakin tak terjangkau dan internet telah menjadi kebutuhan pokok bagi generasi muda saat ini?

Apakah 2.100 kkal masih relevan di dunia yang penuh dengan tantangan baru ini? Sementara kebutuhan pangan tetap penting, pola konsumsi manusia tetap berkembang begitu cepat seiring perubahan gaya hidup.

Pertama, standar konsumsi yang digunakan bisa jadi tidak lagi relevan dengan pola konsumsi masyarakat saat ini, sebab harga pangan dan kebutuhan hidup terus meningkat, sementara standar pengeluaran yang ditetapkan BPS belum tentu mencerminkan realitas biaya hidup di berbagai daerah. Misalnya, biaya sewa rumah di perkotaan jauh lebih tinggi dibandingkan di pedesaan, tetapi garis kemiskinan cenderung meratakan kondisi ini secara nasional, sehingga tidak menggambarkan kesenjangan ekonomi yang sebenarnya. Selain itu, faktor lain seperti akses terhadap layanan kesehatan dan pendidikan belum sepenuhnya diperhitungkan, padahal kedua aspek ini sangat menentukan kesejahteraan masyarakat dalam jangka panjang.

Generasi Z kini menjadi mayoritas masyarakat dan sangat bergantung pada internet, tetapi akses terhadap teknologi ini masih jarang dianggap sebagai kebutuhan esensial dalam standar pengeluaran. Padahal, internet berperan penting dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam bidang pendidikan dan pekerjaan, sehingga mereka yang tidak memiliki akses berisiko tertinggal secara sosial dan ekonomi. Jika kondisi ini terus diabaikan, banyak individu yang sebenarnya rentan secara ekonomi tetapi tidak tercatat dalam kategori miskin, sehingga mereka sulit mendapatkan bantuan yang seharusnya dapat meningkatkan kesejahteraan mereka.

Kedua, metode BPS belum sepenuhnya memasukkan aspek multidimensional dalam mengukur kemiskinan, sebab faktor seperti akses terhadap air bersih, sanitasi layak, dan ketimpangan digital belum diperhitungkan secara signifikan dalam menentukan garis kemiskinan. Padahal, di era modern ini, akses terhadap teknologi dan infrastruktur dasar sangat berpengaruh terhadap kesejahteraan seseorang, terutama dalam hal pendidikan, pekerjaan, dan peluang ekonomi. Jika aspek-aspek ini terus diabaikan, maka banyak individu yang sebenarnya hidup dalam kondisi rentan tetapi tidak tercatat sebagai miskin, sehingga mereka sulit mendapatkan bantuan yang dibutuhkan.

Ketimpangan akses ini dapat berdampak besar pada kehidupan masyarakat, terutama dalam era ekonomi digital yang semakin kompetitif. Mereka yang tidak memiliki akses terhadap teknologi akan kesulitan bersaing, baik dalam memperoleh pekerjaan maupun meningkatkan taraf hidupnya, sehingga kesenjangan sosial semakin melebar. Jika dibiarkan tanpa solusi yang tepat, kondisi ini tidak hanya memperburuk siklus kemiskinan, tetapi juga menghambat pertumbuhan ekonomi yang inklusif bagi seluruh lapisan masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun