Mohon tunggu...
Roka Tenda
Roka Tenda Mohon Tunggu... -

I am a truth seeker

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sedikit Tentang Dunia Perbintangan

21 Juni 2015   23:14 Diperbarui: 6 Juli 2015   04:12 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pernahkah anda berpikir untuk menjadi seorang bintang? Menjadi bintang apa saja: bintang film, bintang olahraga, bintang kelas, bintang politik, atau bintang di langit ;).

Banyak orang merasa tergila-gila denga bintang-bintang tersebut. Tidak sedikit pula yang bermimpi untuk menjadi bintang. Bahkan kalau ditanya kepada setiap orang, makanya semuanya ingin  menjadi bintang. Sebab menjadi bintang memberikan kesadaran bagi manusia akan kerinduannya yang terdalam. Manusia merasa telah menemukan bahwa jati dirinya ketika ia dipuja oleh banyak orang. Hidup bukan lagi sebuah kesia-siaan belaka yang hanya diisi dengan ratap tangis dan kekecewaan.

Keinginan, lebih tepatnya kebutuhan menjadi bintang, merupakan kebutuhan dasar setiap manusia. Para psikolog lebih suka menggunakan istilah "kebutuhan untuk dihargai", atau "kebutuhan akan aktualisasi diri". Kebutuhan tersebut sama pentingnya dengan kebutuhan manusia akan bahan-bahan pokok seperti makanan, pakaian, atau perumahan. Kebutuhan untuk dihargai juga setara dengan kebutuhan untuk dicintai. Ketika salah satu dari kebutuhan ini tidak terpenuhi, maka manusia akan merasa pincang.

Kebutuhan menjadi bintang juga merupakan salah satu poin godaan bagi Yesus ketika ia dicoba iblis di padang gurun setelah berpuasa empat puluh hari empat puluh malam. Yesus tidak saja dicoba untuk memuaskan kebutuhan fisiknya melalui kepuasan makanan, tetapi ia juga dicoba dengan keinginan manusiawinya untuk menjadi bintang. "Jika engkau menyembah aku, maka segala kemahsyuran dunia akan kuberikan kepadamu" .

Sesungguhnya tidak ada yang salah untuk menjadi seorang bintang. Normal saja bila setiap orang ingin menjadi bintang. Yang tidak normal dan menjadi masalah adalah jalan untuk menjadi bintang. Bukan rahasia lagi bila banyak orang berusaha menjadi bintang dengan cara instan dan menyalahi proses resmi dalam dunia perbintangan :). Dalam dunia akademis misalnya. Orang berlomba-lomba memiliki gelar mentereng dengan cara pintas membeli ijazah. Atau seorang murid yang berusaha menjadi juara kelas dengan jalan menyontek. Kalau dalam dunia tarik suara dan pertunjukan, orang dengan mudah mempertontonkan bagian tubuh secara erotis demi mendapatkan penggemar. Hampir dalam semua bidang, kalau kita telisik satu persatu, akan ditemukan cara-cara tidak halal untuk menjadi bintang.

Kalau kita bertanya kepada para bintang yang sudah ada, tidak termasuk bintang di langit ya, tentang kepuasan dan kebahagiaan hidup, bisa jadi jawaban yang kita dapat justru melenceng dari bayangan kita. Banyak bintang yang malah kemudian ingin menjadi orang yang biasa-biasa saja dan menjalani kehidupan secara normal seperti orang lain. Seorang aktor terkenal misalnya akan selalu dikerubungi wartawan dan paparazzi ke manapun ia pergi. Privasi yang dapat dengan mudah kita peroleh, dan justru menjadi sangat mahal harganya bagi mereka. Berbagai sisi kehidupan mereka selalu menjadi sorotan dan bahan gosip seluruh dunia. Percaya atau tidak, para bintang tersebut justru lebih merasa iri terhadap cara hidup kita yang biasa-biasa saja.

Banyak orang ketika telah menjadi bintang, justru tidak mampu menunjukan jati dirinya sebagai bintang. Bintang politik misalnya. Tidak sedikit politisi kenamaan di negeri kita yang tanpa malu-malu mempertontonkan kerakusan dengan mengorbankan kepentingan publik. Mereka tidak segan-segan memelintir fakta demi memenuhi kepentingan dan ambisi pribadinya. Sangat sulit menemukan politisi yang sungguh-sungguh concern dengan kepentingan polisnya.

Pelajaran apa yang dapat kita peroleh tentang dunia perbintangan ini? Pertama, bahwa hidup itu mesti disyukuri. Kebermaknaan diri kita sama sekali tidak ditentukan oleh embel-embel dan gelar yang melekat pada diri kita. Semuanya itu hanya sementara dan tidak akan pernah mendatangkan kebahagiaan abadi. Apa gunanya kita justru berkutat pada hal-hal yang jelas belum tentu mendatangkan kebahagiaan, sembari mengabaikan begitu banyak peluang untuk berbuat sesuatu yang betul-betul bermakna bagi hidup? Apa manfaatnya kita harus lebih dahulu mengalami sesuatu agar dapat belajar darinya, padahal sudah banyak kesaksian hidup banyak orang yang mengajarkan kita akan hal tersebut?

Pelajaran kedua, bahwa sesuatu yang baik bagi hidup manusia tidak akan pernah dapat diperoleh secara mudah dan instan. Segala sesuatu membutuhkan proses dan usaha. Orang bijak bahkan mengatakan bahwa proses justru jauh lebih penting dari hasil. Hasil hanyalah merupakan konsekuensi logis dari proses. Hasil yang diperoleh tanpa proses hanyalah sebuah kesemuan dan kepalsuan belaka.

Ketiga, bila kita telah menjadi bintang maka hendaklah berlaku sebagai bintang. Benda angkasa di langit hanya akan disebut sebagai bintang bila ia mampu memancarkan cahaya dari dirinya sendiri. Bila kita adalah bintang, sudah sepantasnya kita mampu memancarkan cahaya sesuai dengan hakikat kebintangan kita masing-masing. Semakin kita menjadi bintang yang terang, semakin besar pula tanggungjawab kita untuk memancarkan cahaya bagi orang-orang di sekitar kita. Demikian.

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun