Oleh : Roisna Kamila
Konflik Palestina-Israel telah berlangsung selama puluhan tahun, menimbulkan korban jiwa, penderitaan, dan ketegangan geopolitik yang berkepanjangan. Saat ini, terdapat paradoks menarik di panggung internasional, di mana sejak 29 November 2012, Majelis Umum PBB mengambil langkah penting dengan mengakui Palestina sebagai "negara non anggota" melalui Resolusi 67/19 dengan 138 suara menyatakan setuju, 9 menolak, dan 41 memilih abstain. Kemudian dukungan internasional tersebut terus berkembang hingga kini mencapai 157 negara dari berbagai negara di kawasan Asia, Afrika, Amerika Latin, dan sebagian Eropa yang secara resmi mengakui Palestina sebagai negara berdaulat.
Namun di sisi lain, masih terdapat 10 negara yang secara konsisten menolak kemerdekaan Palestina, seperti Amerika Serikat, Israel, Argentina, Hungaria, Mikronesia, Nauru, Palau, Papua Nugini, Paraguay, dan Tonga. Di antara negara-negara ini, Amerika Serikatlah yang memegang peran kunci dalam memengaruhi keputusan internasional terhadap kemajuan Palestina. Melalui hak veto-nya di Dewan Keamanan PBB, Amerika Serikat justru terus memberikan pendanaan militer besar-besaran kepada Israel dan memblokir akses bagi Palestina. Hal ini jugalah yang membuat kebebasan Palestina tertahan hingga detik ini.
Di tengah perdebatan politik ini, justru berkembang narasi bahwa kemerdekaan Palestina dapat mempercepat datangnya hari kiamat. Narasi ini berkembang di kalangan umat Islam, dengan berbagai interpretasi terhadap tanda-tanda akhir zaman. Beberapa pihak mengklaim bahwa kemerdekaan Palestina akan memicu rangkaian peristiwa yang mengarah pada kiamat, termasuk kemunculan Imam Mahdi dan Dajjal.
Beredar beragam video di media sosial yang mengaitkan kemerdekaan Palestina dengan munculnya Dajjal sekaligus menyebarkan ide tentang kemerdekaan Palestina sebagai pertanda dekatnya kiamat. Hal ini menunjukkan bahwa topik tersebut memang menjadi kebimbangan dalam hati sebagaian orang. Menariknya dalam survei Pew Research (2025) menunjukkan sekitar 28% remaja Muslim memercayai narasi tersebut, sekalipun mayoritas ulama menolak narasi ini sebagai distorsi. Para ulama dan cendekiawan Islam menegaskan bahwa tidak ada satu pun hadis shahih yang secara eksplisit menyatakan bahwa kemerdekaan Palestina justru akan menjadi pertanda kiamat. Â Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga menerbitkan fatwa pada Maret 2025, yang menyatakan: "Kemerdekaan Palestina adalah perjuangan kemanusiaan dan keadilan, bukan tanda kiamat. Umat Islam wajib mendukung tanpa rasa takut esoteris."
Ironinya, dalam konteks Kristen Evangelikal di Amerika Serikat sebanyak 35 persen dari mereka justru menyakini bahwa kiamat tidak akan datang kecuali seluruh Yerusalem dapat dikuasai Israel agar nubuatan Alkitab dapat tergenapi. Presentase ini tentu jauh lebih tinggi dari kepercayaan muslim terkait narasi tersebut. Jadi mereka mendukung Israel bukan karena keadilan, melainkan kepercayaan akhir zaman. Dengan demikian, mereka menolak keadilan bagi Palestina justru berdasarkan narasi akhir zaman yang sama. Maka terdapat dua sisi yang berlawanan terkait ketakutan terhadap kiamat dalam mempengaruhi sikap politik diantara konflik Palestina dan Israel.
Di luar perdebatan politik dan narasi eskatologis, terdapat dimensi kemanusiaan yang sering kali terabaikan dalam konflik Palestina-Israel. Dimana konflik ini bukan sekadar perihal masalah agama, tetapi juga mengenai hak asasi manusia yang fundamental. Faktanya menurut data terbaru (Agustus 2025) sebanyak 90% warga Gaza kehilangan tempat tinggal, 317 dari 440 sekolah hancur, dan 80 persen dari mereka hidup dalam kemiskinan. Tak hanya korban jiwa, 90% jaringan air di Gaza dihancurkan oleh pihak Israel, sehingga warga Palestina kesulitan dalam mengakses air bersih. Kementerian Kesehatan Gaza juga menyatakan lebih dari 16.700 anak-anak, 11.200 Perempuan dan 7.100 lansia tewas dalam konflik panjang ini. Sedangkan dari pihak Israel, terdapat 1.205 orang yang tewas. Tentu ini bukan lagi perang antar agama, tetapi ketidakadilan nyata yang membuat ratusan ribu orang menderita, baik dari pihak Palestina maupun Israel.
Di tengah ketegangan ini, ada satu harapan nyata yakni pendidikan multikultural. Bhikhu Parekh menyatakan bahwa multikulturalisme menjadi dialog antarkultural, bukan sekadar argumen tentangg toleransi untuk membangun keadilan dan pemahaman. Dimana pendidikan ini dapat menghapus sistem yang menampilkan sejarah secara satu sisi antara pihak Palestina dan Israel, dengan tidak lagi menggambarkan bahwa pihak lain sebagai musuh atau ancaman, tanpa mengakui penderitaan masing-masing. Hal ini sejalan dengan UNESCO, yang menekankan perlunya pendidikan yang adil dan inklusif serta dapat merehabilitasi sistem pendidikan di wilayah terdampak konflik, seperti halnya yang terjadi di Gaza.
Inisiatif seperti sekolah bersama (hand-in-hand schools) yang menyatukan siswa Palestina dan Yahudi menunjukkan bahwa pendidikan bisa menjadi ruang untuk perdamaian. Dialog antara mahasiswa dari Al-Quds University dan Tel Aviv University juga dapat membuka ruang baru. Dimana kedepannya sejarah bisa diajarkan secara bersamaan, bukan saling meniadakan.
Di sinilah peran pendidikan multikultural dapat dibangun. Tak hanya sekadar mengajarkan toleransi, pendidikan multikultural juga harus menjadi jembatan yang menggantikan ketakutan dengan pemahaman, serta menggantikan mitos dengan fakta. Membangun pengertian bahwa dibalik label Palestina atau Israel terdapat keluarga yang memiliki impian untuk hidup dengan damai.