Mohon tunggu...
Muhammad Roikhan Mansyurin
Muhammad Roikhan Mansyurin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Fakultas Hukum Universitas Singaperbangsa Karawang

Saya memiliki ketertarikan dalam menulis artikel terutama artikel jurnal ilmiah hukum

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Analisis Yuridis Korupsi Lukas Enembe dalam Perspektif UU Nomor 31 Tahun 1999 UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi

15 Oktober 2023   21:50 Diperbarui: 15 Oktober 2023   21:50 1052
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: ANTARA FOTO/MUHAMMAD ADIMAJA/HP.

Korupsi merupakan permasalahan akut dan sistematik yang dapat membahayakan bagi negara Indonesia. Korupsi tidak hanya memberikan ancaman terhadap keuangan dan perekonomian negara, pada kenyataannya perbuatan korupsi juga mengancam dan merusak sistem hukum, politik, sosial, hak-hak asasi manusia, lingkungan hidup, dan kesejahteraan masyarakat. Korupsi telah menjadi virus kekuasaan yang dapat ditemukan di berbagai negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Selama ada kekuasaan, maka akan berpotensi terjadi tindak pidana korupsi seperti yang telah diungkapkan Lord Anton dalam Laode M Syarif “power trends to corrupt and absolute power corrupt absolutely (kekuasaan itu cenderung akan korup dan kekuasaan absolut sudah pasti korup).”

Sejak tahun 1998, Pemerintah negara Indonesia telah mengeluarkan berbagai peraturan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi. Dikeluarkannya Ketetapan MPR Nomor XI Tahun 1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih, dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme telah menetapkan supaya penyelenggara negara jujur, adil, terbuka, dan terpercaya serta membebaskan diri dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Selanjutnya, pada masa pemerintahan Presiden B.J Habibie, lahirnya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menjadi dasar hukum pemberantasan tindak pidana korupsi di negara Indonesia. 

Pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 mengalami beberapa perubahan menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menambahkan beberapa ketentuan yang menjelaskan tindak pidana korupsi. Hingga pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri, dibentuk lembaga penanganan korupsi yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai lembaga independen yang khusus menangani perkara tindak pidana korupsi dikarenakan peran Kepolisian dan Kejaksaan selaku penegak hukum dianggap belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi.

Berbagai kebijakan dan regulasi yang telah dikeluarkan pemerintah Indonesia pada faktanya belum dapat mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi secara menyeluruh. Tindak pidana korupsi di negara Indonesia masih sangat mengkhawatirkan. Data indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia pada tahun 2022 berada pada skor 34/100 dan berada pada peringkat 110 dari negara 180 negara yang di survei dalam IPK. Hal ini menunjukkan bahwa angka korupsi di negara Indonesia masih relatif tinggi. 

Selain itu, Data Global Corruption Barometer pada tahun 2020 yang dirilis oleh Transparency International Indonesia (TII) melalui survei yang mewakili lima pulau Indonesia yaitu Sumatera, Jawa, Bali dan Nusa Tenggara, Kalimantan, serta Sulawesi dan Maluku menunjukkan persepsi publik hanya 65% terhadap kinerja pemerintah dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi serta dianggap stagnan dari GCB 2017 yaitu sebesar 64%. GCB 2020 juga menunjukkan 90% masyarakat merasa korupsi di tubuh pemerintah merupakan masalah besar, jauh di atas rata-rata Asia yaitu sebesar 74%. Anggota legislatif menjadi lembaga/institusi yang dianggap terkorup di Indonesia, yaitu sebesar 51% disusul oleh Pejabat Pemerintah Daerah (48%), dan Pejabat Pemerintahan (45%).


Baru-baru ini, publik dikejutkan dengan tertangkapnya Pejabat Pemerintahan Daerah yakni Gubernur Provinsi Papua Lukas Enembe oleh KPK atas dugaan suap dan gratifikasi senilai Rp 1 miliar rupiah. Suap dan gratifikasi yang dilakukan oleh Lukas Enembe ini berkaitan dengan pembangunan infrastruktur di Provinsi Papua. Kasus ini berawal dari Rijatono Lakka, Direktur PT. Tabi Bangun Papua yang memberikan suap dan gratifikasi kepada Lukas Enembe agar memilih PT. Tabi Bangun Papua untuk mengerjakan proyek pembangunan infrastruktur di Provinsi Papua.

Lukas Enembe menerima uang suap sebelum dan sesudah memilih PT. Tabi Bangun Papua sebagai pelaksana proyek pembangunan infrastruktur Provinsi Papua. Lukas Enembe berperan aktif dalam pengadaan proyek infrastruktur di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUTR) Pemerintah Provinsi Papua dengan memenangkan perusahaan tertentu, salah satunya PT. Tabi Bangun Papua. KPK mengemukakan Lukas Enembe menerima suap dan gratifikasi pengerjaan proyek Pemerintah Provinsi Papua pada tahun 2021 dari tiga proyek yaitu proyek multi years (kontrak tahun jamak) peningkatan Jalan Entrop Hamadi, proyek multi years rehabilitasi sarana dan prasarana penunjang PAUD integrasi, serta proyek penataan lingkungan venus menembak outdoors Auri.

Lukas Enembe diperiksa pertama kali pada 12 September 2022 oleh KPK sebagai saksi, namun tidak jadi dilaksanakan karena sedang sakit, lalu KPK mengirimkan surat panggilan terhadap Lukas Enembe pada tanggal 26 September 2022 untuk hadir dalam pemeriksaan oleh KPK akan tetapi karena simpatisan atau pendukung Lukas Enembe melakukan perlawanan untuk melindunginya. Selanjutnya, pada 3 November 2022 penyidik KPK menemui Lukas Enembe di Papua untuk memeriksa langsung kondisi kesehatannya. 

Lukas Enembe akhirnya pada 28 November 2022 meminta kepada KPK untuk melakukan pengobatan di Rumah Sakit Mount Elizabeth, Singapura akan tetapi KPK telah meminta Direktur Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk mencegah Lukas Enembe bepergian ke luar negeri sejak 7 September 2022 sampai dengan 7 Maret 2023. Akhirnya pada 10 Januari 2023, KPK menangkap Lukas Enembe di Abapura, Provinsi Papua dan Lukas Enembe ditetapkan menjadi tersangka kasus korupsi oleh KPK bersama Rijatono Lakka, Direktur PT. Tabi Bangun Papua.

Praktik korupsi yang dilakukan oleh Gubernur Provinsi Papua Lukas Enembe atas penerimaan suap dan gratifikasi dari Direktur PT. Tabi Bangun Papua, Rijatono Lakka untuk mengerjakan tender proyek pembangunan infrastruktur di Provinsi Papua pada 2021 silam memberikan tambahan data kasus korupsi yang dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan Daerah. Selain itu, Lukas Enembe juga diduga memiliki manajer pencucian uang untuk mengelola hasil korupsinya. Dikutip dari Metrotvnews.com yang menerima informasi dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) modus operandi yang dilakukan Lukas Enembe ialah dengan cara menyamarkan hasil suap dan gratifikasinya sebagai hasil perjudian dari negara Singapura, Filipina dan Malaysia.

Saat ini, KPK telah selesai dalam penyidikan dan telah melengkapi berkas perkara suap dan gratifikasi Lukas Enembe dan akan diserahkan tersangka dan barang bukti dari Tim Penyidik kepada Jaksa KPK pada hari Jumat, 12 Mei 2023 sebagaimana tercantum pada Pasal 8 ayat (3) huruf b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) “Penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum.”

Perbuatan korupsi suap dan gratifikasi Lukas Enembe telah melanggar tugas dan kewajibannya sebagai Gubernur Provinsi Papua. Dalam Pasal 76 huruf e Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah melarang Kepala daerah untuk melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme serta menerima uang, barang, dan/atau jasa dari pihak lain yang dapat memengaruhi keputusan atau tindakan yang dilakukannya. Selain itu, Kepala Daerah yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi melalui putusan hakim yang inkrah akan dapat diberhentikan secara tetap dan Kepala daerah yang menjadi terdakwa atas tindak pidana korupsinya dapat diberhentikan secara sementara dari jabatannya. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah mengatur jenis-jenis dan unsur-unsur tindak pidana korupsi dengan ancaman pidana minimum dan maksimum, mengingat tindak pidana korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime) dan merupakan primum remedium di mana sanksi pidana diberlakukan sebagai pilihan utama, maka dibutuhkan cara-cara luar biasa untuk menegakkan hukum atas korupsi. Pasal 5 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 telah mengatur ketentuan pidana penyuapan baik bagi pemberi suap maupun pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima suap menyebutkan

“(1) Dipidana dengan penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah). Setiap orang yang:

a. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya; atau

b. Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.

(2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dengan ayat (1).”

Unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal 5 ayat (2)

1. Pegawai negeri atau penyelenggara negara.

2. Menerima pemberian atau janji yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau b.

3. Dipidana dengan pidana dalam ayat (1).

Gubernur Provinsi Papua Lukas Enembe yang merupakan penyelenggara sebagaimana diatur dalam Penjelasan Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme menyebutkan “Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Gubernur Lukas Enembe yang merupakan pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif menerima suap untuk memenangkan PT. Tabi Bangun Papua sebagai tender proyek pembangunan infrastruktur Provinsi Papua dapat dikenakan ancaman pidana penjara maksimal 5 (lima) tahun dan atau dengan pidana denda paling banyak Rp 50 juta rupiah.

Selain suap, Gubernur Papua Lukas Enembe juga menerima gratifikasi dari Rijatono Lakka selaku Direktur PT. Tabi Bangun Papua maka menurut Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 menyebutkan “Dipidana dengan penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.

Unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal 11

1. Pegawai negeri atau penyelenggara negara.

2. Menerima hadiah atau janji.

3. Diketahuinya.

4. Patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.

Lukas Enembe yang merupakan penyelenggara negara selaku Gubernur Provinsi Papua menerima gratifikasi dari Rijatono Lakka selaku Direktur PT. Tabi Bangun Papua untuk memenangkan tender proyek pembangunan di Provinsi Papua pada tahun 2021 dan merupakan kekuasaan atau kewenangan Gubernur untuk memilih tender proyek pembangunan infrastruktur Provinsi Papua telah memenuhi unsur Pasal 11 dan dapat diancam dengan pidana penjara maksimal 5 (lima) tahun dan atau dengan pidana denda maksimal Rp 250 juta rupiah.

Selain itu, Pasal 12 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juga mengatur tindak pidana gratifikasi oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana disebutkan dalam huruf a dan b “Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):

a. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;

b. Pegawai negeri penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.”

Unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal 12 huruf a

1. Pegawai negeri atau penyelenggara negara.

2. Menerima hadiah atau janji.

3. Diketahuinya.

4. Patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.

Lukas Enembe selaku Gubernur Provinsi Papua yang menjalankan fungsi eksekutif mengetahui menerima gratifikasi dari Rijatono Lakka selaku Direktur PT. Tabi Bangun Papua untuk melakukan sesuatu dalam hal ini memenangkan PT. Tabi Bangun Papua sebagai salah satu tender proyek pembangunan infrastruktur Provinsi Papua telah memenuhi unsur Pasal 12 huruf a dan dapat dikenakan ancaman pidana maksimal 20 (dua puluh) tahun dan dengan pidana denda maksimal Rp 1 miliar rupiah.

Unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal 12 huruf b

1. Pegawai negeri atau penyelenggara negara.

2. Menerima hadiah.

3. Diketahuinya.

4. Bahwa hadiah tersebut hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.

Lukas Enembe selaku penyelenggara negara yang memiliki fungsi eksekutif dalam hal ini sebagai Gubernur Provinsi Papua yang mengetahui menerima gratifikasi dari Direktur PT. Tabi Bangun Papua, Rijatono Lakka karena telah melakukan sesuatu dalam jabatannya yakni memenangkan PT. Tabi Bangun Papua sebagai tender proyek pembangunan infrastruktur Provinsi Papua di tahun 2021 telah memenuhi unsur Pasal 12 huruf b dan dapat diancam dengan pidana penjara maksimal 20 (dua puluh) tahun dan dengan pidana denda maksimal Rp 1 miliar rupiah.

Selain dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi, perihal uang hasil korupsi suap dan gratifikasi yang disamarkan oleh Lukas Enembe melalui cara perjudian dan kepemilikan manajer pencucian uang untuk mengelola uang hasil suap dan gratifikasinya, Lukas Enembe dapat dikenakan ancaman tindak pidana pencucian uang sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menyebutkan “Hasil tidak pidana adalah Harta Kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana korupsi” dengan ancaman pidana pada Pasal 3 menyebutkan “Setiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).”

Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf a jo Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, Lukas Enembe dapat dikenakan ancaman pidana maksimal dua puluh tahun dan dengan denda maksimal Rp 10 miliar rupiah.

Praktik korupsi suap dan gratifikasi yang telah dilakukan oleh Gubernur Provinsi Papua Lukas Enembe merusak integritas dan kredibilitas sebagai penyelenggara negara serta memberikan tambahan data korupsi yang dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan Daerah. Penerimaan suap dan gratifikasi oleh Lukas Enembe telah melanggar tugas dan kewajibannya sebagai Gubernur Provinsi Papua. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah mengatur jenis dan sanksi pidana dalam tindak pidana korupsi berdasarkan unsur-unsur dalam setiap Pasalnya. Penerapan Pasal 5 ayat (2), Pasal 11, serta Pasal 12 huruf a atau b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 telah tepat untuk memberikan sanksi pidana terhadap praktik suap dan gratifikasi yang diterima Lukas Enembe. Selain itu, dugaan praktik penyamaran uang hasil suap dan gratifikasi oleh Lukas Enembe dengan cara menyamarkan sebagai hasil perjudian di luar negeri apabila terbukti maka telah melanggar Pasal 2 ayat (1) huruf a jo Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dengan ancaman pidana penjara maksimum 20 tahun dan dengan pidana denda maksimum Rp 10 miliar rupiah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun