"Kabar apa yang membawa kalian sampai ke sini. Capai-capai bersepeda lagi?" tutur Rangga Mone basa-basi. Wajarlah ia bertutur demikian, karena baru kali itu mereka mengunjunginya di kos.
"Senang-senang saja kak. Sesekali keluar dari asrama," balas mereka.
Kemudian salah satu gadis berwarna kulit kuning langsat dan bermata sipit, menyambung, "Kangen, sudah lama tidak ketemu kak. Ehhh, maksud saya, kami antar orang yang sedang kangen sama kakak."
"Masa sih! Siapa yang kangen?" tanya Rangga Mone bergurau, karena ia sudah paham arah gurauannya.
"Siapa lagi, kalau bukan si dia ini," balasnya, sambil telunjuk kanannya diarahkan ke Tari Mbuku. Kami pun tertawa lucu tapi bikin suasana segar.
"Jangan percaya ... jangan percaya ... jangan percaya kak. Dia bohong," timpal Tari Mbuku sambil tersenyum. Tak seperti biasanya, ia langsung salah tingkah, tapi saat itu ia tampak meresponnya secara biasa-biasa saja. Mungkin ia sudah terbiasa, sering digodai oleh teman-temannya ini, tentang kisah rasa tak bersambung di antara dirinya dan Rangga Mone.
"Bohong apa, memang benar ko. Mengaku saja, apa salahnya," sambung gadis turunan Tianghoa itu. Tawa kami jadi terkekeh-kekeh karena merasa lucu.
Khawatir suasana akan berubah menjadi hening, jika Tari Mbuku tidak kuat digodain teman-temannya, Rangga Mone mengalihkan obrolan mereka.
"Cukup sudah baku ganggu. Saya tidak mau tanggung jawab kalau ada yang menangis ya . Lebih baik kita ngobrol yang lain saja," sela Rangga Mone. "Adi mari ikut kakak ke warung untuk beli es dan gorengan," sambung Rangga Mone, mengajak gadis bermata sipit itu.
Kemudian gadis berwarna kuning langsat yang suka omong ceplas-ceplos dan manja ini, gegas bangun dari duduknya dan mengikuti Rangga Mone. Sambil bergenggaman tangan, mereka menuju ke warung. Orang yang melihat mereka, menganggap mereka pasangan kekasih yang serasi.
Gadis turunan Tianghoa ini sangat akrab dengan Rangga Mone. Saking akrabnya, gadis Tianghoa ini seringkali curhat kepada Rangga Mone jika mengalami problem hatinya, teristimewa tentang laki-laki idamannya yang tidak mempedulikannya lagi. Bahkan ia pernah menangis sesunggukan cukup lama di atas pangkuan Rangga Mone. Di saat-saat seperti itu, Rangga Mone selalu membelai-belai rambutnya sampai ia merasa tenang dan nyaman.