Mohon tunggu...
Rofinus D Kaleka
Rofinus D Kaleka Mohon Tunggu... Insinyur - Orang Sumba. Nusa Sandalwood. Salah 1 dari 33 Pulau Terindah di Dunia. Dinobatkan oleh Majalah Focus Jerman 2018

Orang Sumba, Pulau Terindah di Dunia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Enam Gadis Cantik Bersepeda Mengunjungi Rangga Mone

21 Mei 2019   18:02 Diperbarui: 21 Mei 2019   18:36 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tembang pop "Mulanya Biasa Saja", terbaru dan hits saat itu, sedang on air melalui saluran radio swasta papan atas di Kota Pelajar. Suara khas si biduan cantik seksi, Meriam Belina,  mendayu-dayu mempermainkan frekuensi gelombang rasa yang mendengarnya.

Musik melankolis ini sangat cocok dengan suasana hati Rangga Mone saat itu, yang sedang mulai bermain rasa dengan seorang gadis, teman mahasiswi seangkatannya di fakultas yang sama.

Gadis cantik asal Pekanbaru berdarah Minang ini, sebenarnya sudah punya pacar, entah kenapa, selalu saja berusaha tingkah polanya selalu mengundang perhatian Rangga Mone. Manjanya, senyum lesung pipitnya yang manis, lirikannya dan cubitan tangannya yang agak genit, meninggalkan kesan di hati Rangga Mone.

Seiring dengan waktu yang terus melaju tak pernah mundur, dua tahun hidup di Kota Pelajar,  membuat mereka mulai akrab. Mereka sering terlihat bersama. Mulai dari belajar, sekadar jalan-jalan, nonton film di bioskop, sampai dengan makan di warung. Saling mentraktir sudah terlalu sering. Kadang-kadang juga mereka terlihat seperti pacaran. Mungkin saja, sembunyi-sembunyi atau selingkuh, entahlah.

Melodi dan syair indah tembang Meriam Belina itu terus mempermainkan hati Rangga Mone. Ia sungguh sangat menikmatinya, sambil bernyanyi-nyanyi kecil mengikutinya.

***** *****

Siang hari minggu itu, selepas pulang mengikuti misa pagi, Rangga Mone sedang santai di kosnya. Kalau mau jujur, ia memang cocok menjadi penjaga kos sih, karena tipikalnya yang gemar membaca, menulis dan mendengarkan musik. Ia biasanya meninggalkan kos hanya untuk kegiatan kuliah, seminar, diskusi dan kegiatan organisasi serta gereja. Ia juga belum sempat acara apel malam mingguan, karena belum ada yang dipacarin. Alias belum laku di mata dan hati gadis sebayanya.

"Tok tok tok  ... Tok tok tok. Tok tok tok ...," terdengar bunyi daun jendela kosnya, yang terbuat dari papan, yang disertai suara sopran, "Hallo kak ... hallo kak... hallo kak." Pertanda ada tamu yang datang mengunjunginya. Pikirnya yang datang adalah gadis Pekanbaru itu.

"Hallo juga," balas Rangga Mone dan segera membuka pintu.

Betapa kagetnya Rangga Mone saat itu. Karena yang datang mengunjunginya adalah enam orang gadis yang cantik-cantik. Mereka berboncengan dengan sepeda dari tempat yang jauh. Asrama Susteran di utara Tugu Legendaris.

"Ayo masuk," ajak Rangga Mone, setelah mereka saling berciuman. Satu persatu gadis ini mencium hidung Rangga Mone. Tidak tabu. Bukan mesum. Karena memang begitu tradisi budaya salaman dari daerah mereka di Nusa Sandalwood. Suasana kos Rangga Mone jadi ramai.

"Kabar apa yang membawa kalian sampai ke sini. Capai-capai bersepeda lagi?" tutur Rangga Mone basa-basi. Wajarlah ia bertutur demikian, karena baru kali itu mereka mengunjunginya di kos.

"Senang-senang saja kak. Sesekali keluar dari asrama," balas mereka.

Kemudian salah satu gadis berwarna kulit kuning langsat dan bermata sipit, menyambung, "Kangen, sudah lama tidak ketemu kak. Ehhh, maksud saya, kami antar orang yang sedang kangen sama kakak."

"Masa sih! Siapa yang kangen?" tanya Rangga Mone bergurau, karena ia sudah paham arah gurauannya.

"Siapa lagi, kalau bukan si dia ini," balasnya, sambil telunjuk kanannya diarahkan ke Tari Mbuku. Kami pun tertawa lucu tapi bikin suasana segar.

"Jangan percaya ... jangan percaya ... jangan percaya kak. Dia bohong," timpal Tari Mbuku sambil tersenyum. Tak seperti biasanya, ia langsung salah tingkah, tapi saat itu ia tampak meresponnya secara biasa-biasa saja. Mungkin ia sudah terbiasa, sering digodai oleh teman-temannya ini, tentang kisah rasa tak bersambung di antara dirinya dan Rangga Mone.

"Bohong apa, memang benar ko. Mengaku saja, apa salahnya," sambung gadis turunan Tianghoa itu. Tawa kami jadi terkekeh-kekeh karena merasa lucu.

Khawatir suasana akan berubah menjadi hening, jika Tari Mbuku tidak kuat digodain teman-temannya, Rangga Mone mengalihkan obrolan mereka.

"Cukup sudah baku ganggu. Saya tidak mau tanggung jawab kalau ada yang menangis ya . Lebih baik kita ngobrol yang lain saja," sela Rangga Mone. "Adi mari ikut kakak ke warung untuk beli es dan gorengan," sambung Rangga Mone, mengajak gadis bermata sipit itu.

Kemudian gadis berwarna kuning langsat yang suka omong ceplas-ceplos dan manja ini, gegas bangun dari duduknya dan mengikuti Rangga Mone. Sambil bergenggaman tangan, mereka menuju ke warung. Orang yang melihat mereka, menganggap mereka pasangan kekasih yang serasi.

Gadis turunan Tianghoa ini sangat akrab dengan Rangga Mone. Saking akrabnya, gadis Tianghoa ini seringkali curhat kepada Rangga Mone jika mengalami problem hatinya, teristimewa tentang laki-laki idamannya yang tidak mempedulikannya lagi. Bahkan ia pernah menangis sesunggukan cukup lama di atas pangkuan Rangga Mone. Di saat-saat seperti itu, Rangga Mone selalu membelai-belai rambutnya sampai ia merasa tenang dan nyaman.

Kadang-kadang sempat terpikir oleh Rangga Mone kalau gadis Tianghoa ini menyukainya. Dalam hati kecilnya, Rangga Mone sendiripun sebenarnya ada perasaan suka terhadap gadis ini. Namun ia tidak mau salah menyangka. Jangan sampai gadis ini memang hanya menganggapnya sebagai saudara yang bisa dipercaya untuk curhat saja.

***** *****

Ketika Rangga Mone dan gadis cantik bermata sipit ini tiba kembali di kos, kelima gadis itu, masing-masing sedang sibuk. Ada yang sedang membaca. Karena di rak buku Rangga Mone banyak buku dan majalah. Ada yang memutar kaset di Mini Compo. Karena Rangga Mone suka mengoleksi kaset. Sementara Tari Mbuku sedang latihan mengetik. Karena Rangga Mone gemar menulis, mau tidak mau harus punya mesin ketik sendiri.

"Hei, nyora-nyora, berhenti dulu membaca dan mengetik. Mari kita minum es dan makan gorengan," ajak gadis bermata sipit ini.

"Sebentar baru lanjutkan lagi," sambung Rangga Mone.

Mereka pun lesehan di atas lantai beralaskan karpet. Minum es, makan gorengan dan ngobrol sambil bercanda.

Saat waktu sudah menjelang sore, keenam gadis itu, pamit pulang ke asrama. Sebelum beranjak, salah satu gadis di antara mereka, mengatakan, "Kak, ini Tari Mbuku mau pinjam kasetnya Meriam Belina. Dia paling suka lagu Mulanya Biasa Saja."

"Masih pakai istilah pinjam lagi. Kau 'kan Nyoranya Rangga Mone, ambil sudah to!" timpal gadis turunan Tianghoa ini. Tari Mbuku hanya tersenyum dan tidak berusaha menimpalinya.

"Boleh ... boleh ... boleh ...," tutur Rangga Mone.

Setelah menyampaikan terima kasih, keenam gadis itu segera meninggalkan kos Rangga Mone.

Tambolaka, 21 Mei 2019

  

 

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun