Santai saja membaca artikel yang saya sajikan ini. Karena memang isinya tidak serius. Bahkan sesungguhnya juga mungkin tidak penting sama sekali.Â
Tapi kalau mau baca untuk sekadar mengisi waktu lowong atau menghabiskan waktu sambil meneguk kopi hangat, ya tidak dilarang. Toh, siapa juga yang lihat saat membacanya. Sama seperti saat saya sedang menulis artikel ini, tidak ada juga yang lihat. Silahkan, boleh baca atau boleh lewatkan saja!
Ini hanya sepenggal kisah pengalaman biasa-biasa saja. Saat mulai belajar teknologi baru yang tidak biasa-biasa saja. Benar-benar baru di awal 1990-an, saat saya masih sedang kuliah di kota pelajar Yogyakarta.
Ketika itu, sudah mulai trend penggunaan teknologi canggih bernama Komputer. Memang sih masih terbatas kemampuannya. Hanya untuk ketik-mengetik dan Lotus saja. Walaupun begitu, saya sendiri sudah sangat mengaguminya. Hanya sebatas itu saja, karena saya belum bisa mengoperasikannya. Bahkan untuk memegangnya saja masih belum berani.
Suatu waktu datanglah seorang kawan mahasiswa dan mengajak saya untuk ikut kursus komputer. Karena ingin tahu menggunakannya maka saya menyepakati dan pergilah kami untuk mendaftar pada sebuah tempat kursus komputer di jalan Mangkubumi, arah selatan Tugu Yogyakarta, dekat Kantor Harian Umum Kedaulatan Rakyat.
Hari pertama, kami sepuluh orang untuk satu kelas, masing-masing berhadapan sendiri dengan satu unit komputer. Hari itu kami sukses berkenalan dengan perangkat komputer sesuai petunjuk mentor kami.
Hari kedua, kami mulai berkenalan dengan program Word Star (WS), masih WS 4 saat itu. WS ini sama dengan microsoft office word sekarang. Bedanya, WS masih perintah manual. Harus hafal dan diselesaikan di atas stut keyboard. Â Sedangkan microsoft office word, menunya sudah tersaji di monitor dan hanya main klik saja pakai mouse.
Disinilah mulai ada kendala bagi kami saat belajar. Salah satu peristiwa yang tidak terlupakan bagi kami saat belajar WS tersebut adalah ketika mentor meminta kami untuk menekan tiga stut pada keyboard.
" Sekarang silahkan tekan kontrol  ka ki," kata mentor.
Saya dan beberapa kawan lain tidak ada masalah. Kami langsung mengikutinya dengan baik. "Sudah pak," kata kami.
Tapi teman kami yang satu orang, namanya sebut saja Dewi, bukan nama sebenarnya, sibuk menunduk ke bawah meja. Kami sudah lama selesai, namun Dewi, seperti dalam kebingungan, masih menunduk memperhatikan di sekitar wilayah kakinya.