Mohon tunggu...
Rofinus Sela Wolo
Rofinus Sela Wolo Mohon Tunggu... Karyawan -

Ingin pergi dan hidup lebih lama dari ini

Selanjutnya

Tutup

Money

Pidi Watu: Berkah Alam dari Pantai Nangaroro

1 November 2015   03:33 Diperbarui: 1 November 2015   15:39 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penulis: Rofin Sela

http://jipijara.com/

Jika Anda menengok di sepanjang jalan dari Ende-Bajawa, tepatnya di sepanjang pantai Sarakaka, Nangaroro, Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur (NTT), Anda akan melihat tumpukan batu alam. Batu-batu itu sengaja dikumpulkan. Ada penadah tetap yang menghargai para pengumpul batu itu menjadi duit, sementara sesekali ada pendatang yang langsung datang untuk membeli.

“Pidi Watu”, begitulah dalam bahasa daerah sebagian besar masyarakat Nangaroro menyebut pekerjaan tersebut, yakni mengumpulkan batu di sepanjang pantai berpasir hitam dan dibatasi bebatuan membentang ke arah timur sepanjang pantai Sarakaka, Nangaroro, kabupaten Nagekeo hingga pesisir pantai kabupaten Ende dan seterusnya.

Selain nelayan, ada beberapa orang yang memang berkerja sebagai pengumpul batu. Ada juga yang datang dari penggarap kebun demi mencari alternatif penghasilan lain. Mereka biasanya menyisir dari pantai Sarakaka, Aeawe, Nangamboa di Kabupaten Nagekeo hingga pesisir pantai Ndao di Kabupaten Ende.

Batu-batu alam yang dikumpulkan ialah batu berwarna hijau, putih, dan hitam dengan berbagai ukuran. Batu hijau menjadi buruan utama karena harganya lebih tinggi dan yang paling laris. Batu-batu itu kebanyakan menjadi bahan pembuatan aksesoris, penghias taman perumahan, pemanis di kuburan dan pemanis dinding rumah.

Kala saya berusia dua belas tahun, sewaktu liburan tamat sekolah dasar, orang tua saya sering mengajak untuk mengumpulkan batu hijau, putih dan hitam di sepanjang pantai Sarakaka, Aeawe, hingga Nangamboa. Selain keluarga saya, sebagian masyarakat di kampung Aekana, Tongatei, dan Nangamboa juga menghabiskan hari-hari di pantai Aeawe untuk mengumpulkan batu sembari menantikan datangnya musim hujan untuk berladang. Pantai Aeawe adalah pantai yang hampir semua pesisirnya dipenuhi batu, mulai dari batu-batu kecil bercorak dan berwarna hingga bebatuan dengan ukuran yang cukup besar yang diperkirakan sudah berusia tua.

Selama masa liburan, hampir setiap hari saya dan teman-teman kecil menghabiskan waktu bersama orangtua kami untuk mengumpulkan batu. Pukul 05.00 WITA kami sudah menuju tempat pengumpulan batu. Berbekal makanan seadanya, kami berjalan beramai-ramai, bergerombol sembari bercerita tentang harga jual batu-batu tersebut. Biasanya kami langsung menuju pantai Aeawe karena kualitas batu yang menjajikan dengan jumlah yang lebih banyak ketimbang di pesisir pantai Sarakaka. Sembari mengumpulkan batu kami juga memancing, melepaskan pukat atau jala untuk menjaring ikan sebagai lauk teman makan pisang rebus, singkong, dan nasi jagung.

Mengumpulkan batu sebenarnya bukan pekerjaan yang sulit, hanya memilih batu-batu mulus tanpa cela dan berwarna cerah. Memang beban memindahkan atau mengangkat batu tentu lebih berat ketimbang mengangkat pasir atau “kayu kering” (kayu api). Batu yang telah dikumpulkan dipisahkan berdasarkan ukuran dan jenisnya. Saat itu kami mengumpulkan batu mulai dari ukuran terkecil (no 1) hingga ukuran paling besar (no 5). Batu yang dibutuhkan oleh penadah adalah batu halus sedikit mengkilap tanpa pecahan atau lubang berpori di setiap sisi batu-batu tersebut. Harga yang ditawarkan juga berbeda-beda. Untuk batu hijau nomor satu dihargai Rp.50 per kg, nomor dua Rp.25 per kg, nomor tiga Rp.15 per kg, nomor empat Rp.10 per kg dan nomor lima Rp.50 per kg. Berbeda lagi untuk jenis batu putih dan hitam yang tidak dipisahkan berdasarkan ukuran dipatok dengan harga Rp.10 per kilogramnya.

Batu-batu yang telah terkumpul akan ditimbang dan dibeli oleh penadah jika jumlah yang kami kumpulkan sudah cukup banyak. Biasanya para penadah menunggu hingga satu bulan. Setelah satu bulan lamanya, batu yang batu yang dikumpulkan dan terpisah berdasarkan ukuran tersebut dipindahkan dari tumpukan di bawah rindangnya pohon-pohon asam ke “pondok” yang sudah disediakan oleh penadah. Batu yang sudah dipindahkan akan ditimbang lalu dibeli oleh penadah dengan bayaran sesuai harga yang sudah ditentukan.

Saya harus menyebutkan satu nama dari Penadah batu hijau ini. Om Muhamad namanya atau yang lebih disering dipanggil Om Hema. Ia adalah seorang muslim yang santun dan senang bercanda ria dengan kami para pencari batu. Sosok beliau yang terbuka dan baik hati tentu membuka aura semangat kami untuk bekerja lebih giat untuk mengumpulkan lebih banyak batu guna menambah penghasilan. Om Hema pernah berkata bahwa situasi dan harga akan berubah setiap saat. Ketika bisnis dan usahanya membaik maka harga beli juga akan meningkat dan begitupula sebaliknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun