Mohon tunggu...
Choirul Huda
Choirul Huda Mohon Tunggu... Wiraswasta - Kompasianer sejak 2010

Pencinta wayang, Juventini, Blogger. @roelly87 (www.roelly87.com)

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Catatan sebagai Anggota KPPS: Jadi Ketua dan Menerapkan Demokrasi Versi Mikro

19 Februari 2024   15:07 Diperbarui: 19 Februari 2024   15:07 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Catatan sebagai Anggota KPPS:

Jadi Ketua dan Menerapkan

Demokrasi Versi Mikro

JADI anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) merupakan kebanggaan yang luar biasa. Apalagi, dipercaya sebagai ketua di Tempat Pemungutan Suara (TPS) 06, lokasi saya berada.

Ketua?

Wow...

Mengatur diri sendiri aja masih kesulitan. Apalagi, harus mengurus delapan anggota lainnya?

Btw, setiap TPS terdapat tujuh anggota KPPS dan dua Pengamanan Langsung (Pamsung). Itu belum termasuk Panitia Pengawas (Panwas), saksi, dan sukarelawan.


Untuk saksi di setiap TPS berbeda. Tergantung tim calon presiden (capres), caleg, atau partai yang menunjuknya.

Di tempat saya ada lima yang bertugas untuk Pemilu 2024. Dua dari capres dan tiga caleg.

*       *       *

DEMIKIAN mukadimah artikel ini. Sekaligus, menyambung postingan blog sebelumnya.

Intinya, sebagai ketua, saya memiliki tanggung jawab yang lebih besar dibanding anggota lainnya. Di sisi lain, honornya pun beda.

Yoi... Meski terpaut selembar merah.

Anggota dapat Rp XXX. Sementara, saya sebagai ketua terima Rp ZZZ.

Hanya, ketua ini bukan soal duit. Kompleksnya situasi dan kondisi dalam mengemban tanggung jawab jadi tantangan tersendiri.

Seperti yang saya singgung pada awal paragraf. Menyatukan sembilan kepala bukan tugas mudah.

Apalagi, ini terkait pemilu. Jelas, pesta demokrasi ini tidak boleh main-main.

Sebagai manusia, kita tentu punya ego. Termasuk, saya sebelum menentukan rencana terkait penyelenggaraan pemilu di TPS 06 sejak Januari lalu.

Adakalanya, dalam eksekusi, saya ingin A. Pada saat yang sama, anggota Y ingin B, si X ingin C, dan lainnya.

Di sisi lain, sebagai ketua, tentu saya punya hak veto. Wkwkwkwk udah kayak di PBB aja!

Namun memang benar, sebagai ketua, memiliki diskresi dalam penentuan sesuatu di TPS masing-masing. Hanya, kembali lagi demi kelancaran bersama wajib dibicarakan ke semua anggota.

Nah, sebagai negara demokrasi, tentu saya harus menekankan musyawarah mufakat. Alias, berembuk ke seluruh anggota.

Apa pun itu soalnya. Baik terkait teknis, misalnya untuk penentuan rapat, atau anggaran seperti pemasangan tenda, konsumsi, dan sebagainya.

Jika mentok, mau tidak mau harus dilakukan opsi pamungkas:

Voting!

Suara terbanyak yang dipilih.

Yuppiii... Ini wujud demokrasi bernegara dalam versi mikro.

*       *       *

SEBAGAI ketua yang honornya lebih besar selembar, tentu saya tidak bisa nyantai. Alias, harus ikut kerja bersama anggota lain.

Apa pun itu. Misalnya, saat keliling untuk memberikan surat undangan ke tiga RT pada lokasi berbeda.

Saya wajib ikut. Kendati, harus mengorbankan rutinitas sebagai ojek online (ojol).

Ya, saya empat hari harus libur ngojol. Pusing juga sih, ga ada pemasukan.

Sebab, ojol merupakan mata pencaharian satu-satunya. Namun, tetap semangat mengingat setelah Pemilu 2024 selesai, honor cair.

Mata pun langsung ijo melihat duit. Tuing... Tuing... Tuing...

Oh ya, sejak anggaran turun dari KPU kepada setiap TPS, saya langsung meminta kepada salah satu anggota KPPS untuk jadi bendahara. Tugasnya, seperti biasa mencatat pengeluaran.

Alhamdulillah, ada yang bersedia. Maklum, saya ogah megang duit.

Sebab, ribet bawa uang tunai di jalanan saat ngojol. Belum lagi harus beli ini dan itu.

Itu mengapa, saya butuh bendahara. Yang bersedia megang uang sekaligus belanja keperluan untuk TPS.

Btw, anggaran dari KPU untuk Pemilu 2024 cukup besar. Nilainya, Rp XXX yang dibagikan kepada setiap ketua KPPS.

Yaitu, untuk sewa tenda, printer, bangku, meja, penerangan, konsumsi, cemilan, ATK, dan sebagainya. Ini belum termasuk honor ya.

Alhamdulillah, dengan pengeluaran anggaran yang teliti dan hemat, kami tidak jadi nombok. Bahkan, masih ada sisa yang bisa untuk makan-makan dengan dibagi rata antara tujuh anggota KPPS dan dua Pamsung.

Kalo soal duit, memang bikin semangat... Mata pun ijo lagi.

:)

*       *       *



SELALU ada harga yang harus dibayar. Ya, sebagai anggota KPPS membuat saya wajib istirahat untuk menulis di blog terkait politik.

Bisa dipahami mengingat saya merupakan penggemar Prabowo Subianto. Namun, sejak resmi dilantik 25 Januari lalu, saya tidak lagi menulisnya.

Terakhir, 8 Januari yang berlangsung sehari setelah Debat Capres Kedua. Sejak itu, saya hanya menulis soal makanan tiga kali dan sepak bola (sekali).

Gatal sih tangan, ingin menulis lagi mengingat draft sudah banyak. Beberapa artikel yang akhirnya terbengkalai yaitu, berjudul Dinasti Prabowi, Pemilu 2024 Tidak Hanya Pilpres, Kembalinya si Sesat Timur, Adu Kuat PDIP dengan PSI, dan sebagainya.

Sebagai bloger yang hobi nulis apa saja sejak 2009 silam, situasi ini jadi dilema. Namun, saya harus istirahat sejenak memposting artikel terkait Pemilu 2024.

Pasalnya, sebagai anggota KPPS, jelas saya harus menjaga etika. Misalnya, saya yang jadi penggemar 02, tidak boleh memperlihatkan kepada publik.

Cukup dalam hati saja. Sebab, jika nekat, bisa mencoreng nama baik KPPS dan KPU.

Bagaimana dilemanya saat pencoblosan? Ga ada urusan.

Saya tidak terpengaruh saat mendengar 02 menang. Biasa saja.

Sebab, saya hanya menggemari. Bukan pendukung, simpatisan, relawan, dan sejenisnya.

Seperti yang saya tegaskan pada artikel "Prabowo: Sang Penculik yang Berharap Mandat Langit". Saya selalu menilai sesuatu dengan objektif.

Ada garis batas.

Contohnya, Juventus yang jadi klub favorit saya sejak 1994. Jika bagus saya puji.

Ketika main buruk pun saya terima. Termasuk, legawa saat kalah dari AC Milan, FC Internazionale, Real Madrid, dan Barcelona.

Begitu juga dengan pilpres. Kendati pilihan saya keok dalam dua edisi beruntun, tapi saya tetap rasional.

Ga sekalipun saya ikut menjelek-jelekkan Jokowi hingga baper. Prabowo kalah pada 2014 dan 2019 ya sudah, memang garis takdirnya seperti itu.

Sementara, untuk kritik sudah pasti. Yang membangun alias konstruktif, baik lewat blog ini atau media sosial.

Itu mengapa, saya juga kerap diajak dalam beberapa acara yang berkaitan dengan pemerintahan Jokowi. Beberapa di antaranya bisa dilihat dalam artikel "Catatan Dua Tahun Kepemimpinan Jokowi-JK" dan "Antara Presiden Jokowi, Asian Games 2018, Blogger, dan Tantangan Menghadapi Revolusi Industri 4.0".

Saya juga turut diundang Sekretariat Kabinet untuk menyaksikan langsung kehidupan di perbatasan pada 2018 lalu. Saat itu, kementerian yang dipimpin Pramono Anung ini mengajak blogger untuk menengok lebih jelas kehidupan masyarakat di Entikong, Kalimantan Barat, yang berbatasan langsung dengan Malaysia (Selengkapnya di Halaman http://www.roelly87.com/p/selamat-datang-di-halaman-khusus.html).

Jadi, saya berusaha untuk fair. Ada garis batas dalam mencintai sesuatu.

*       *       *



AKHIRNYA, 14 Februari pun tiba. Pesta demokrasi yang ditunggu rakyat Indonesia ini pun berlangsung sukses.

Suatu kebanggaan bisa jadi bagian dari hajatan akbar ini. Meski, saat itu sempat diwarnai tantangan.

Mulai dari kurang tidur. Ya, saya hanya bisa tidur kurang dari dua jam jelang pencoblosan.

Maklum, saya termasuk golongan nokturnal yang berkebalikan dengan mayoritas individu lainnya. Ngojol aja tiap hari sebagai kalong: Beroperasi dari sore hingga pagi.

Pun dengan menulis di blog. Saya lebih lancar saat menuangkan ide pada dini hari ketimbang siang atau sore.

Nah, Rabu (14/2) pas bangun tidur, rumah saya kebanjiran. Waduh, pertanda apa ini?

Pun demikian ketika mengangkut kotak suara dan bilik dari kelurahan ke TPS. Hujan masih menggelayuti dengan ramah.

Kondisi TPS? Jangan tanya. Acak-acakan akibat angin kencang.

Beberapa informasi terkait pencoblosan yang ditempel basah semua. Duh...

Puncaknya, terjadi kekeliruan hitung suara hingga dua kali. Tak heran, kami yang mulai pukul 05.00 WIB untuk bolak-balik TPS ke Kelurahan harus berakhir pukul 02.45 WIB!

Alias, nyaris 24 jam nongki-nongki di bawah tenda! Cukup?

Lalu...

Panjang kalo diceritain dalan saru postingan.

Selengkapnya, pada artikel pamungkas dari trilogi sebagai Anggota KPPS...

*       *       *

(Foto: @roelly87)
(Foto: @roelly87)

*       *       *

(Foto: @roelly87)
(Foto: @roelly87)

*       *       *

(Foto: @roelly87)
(Foto: @roelly87)

*       *       *

dokpri
dokpri

*       *       *

dokpri
dokpri

*       *       *

dokpri
dokpri

Penentuan waktu dan lokasi

rapat secara demokratis

*       *       *

dokpri
dokpri

Voting seluruh anggota untuk

memilih waktu rapat antara

jam 2 siang atau 7 malam

 

*       *       *

dokpri
dokpri

Hasil voting, rapat diputuskan

malam hari

*       *       *

dokpri
dokpri

Bagi-bagi tugas, ada yang

 jadi bendahara, logistik, dll

 

*       *       *


*       *       *


*       *       *


*       *       *

*       *       *

*       *       *

*       *       *

*       *       *

*       *       *

*       *       *

Artikel Trilogi sebagai Anggota KPPS

- Sehari Jadi Abdi Negara (1) (https://www.kompasiana.com/roelly87/65cf115cde948f19267d2142/catatan-sebagai-anggota-kpps-sehari-jadi-abdi-negara)

- Pemilu Kerja 22 Jam (III)

*       *       *

Artikel Terkait:

- https://www.roelly87.com/2014/10/sosialisasi-pemilu-melalui-sepak-bola.html

- https://www.kompasiana.com/roelly87/54f7134aa3331146228b4759/pesan-ketua-kpu-untuk-dua-kandidat-calon-presiden?page=all#sectionall

...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun