Mohon tunggu...
Choirul Huda
Choirul Huda Mohon Tunggu... Kompasianer sejak 2010

Pencinta wayang, Juventini, Blogger. @roelly87 (www.roelly87.com)

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

[LOMBAPK] Restorasi Tiga Dara, Bukan Sekadar Nostalgia

3 September 2016   23:59 Diperbarui: 4 September 2016   00:03 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

APA yang menarik disaksikan dari film enam dekade silam yang direstorasi kembali? Warnanya hitam-putih, pemerannya kini sudah pada tua, ceritanya klise -tentang perjodohan-, teknologi saat itu masih jadul, dan sebagainya.

Demikian, pertanyaan yang menggelayuti saya pada pertengahan 2015 ketika membaca berita mengenai rencana restorasi Tiga Dara. Tentu, saat itu, saya tidak mengenal film yang sukses pada 1956 tersebut. Yang saya tahu ketika itu berdasarkan baca di media online, hanya Mieke Wijaya, ibu dari Nia Zulkarnaen yang sering saya saksikan di sinetron, salah satunya Doa dan Cinta, yang bertema religi.

Hingga, saya baru tahu saat mengunjungi Jerman Fest 2015 di Tugu Kunstkring Paleis, Jalan Teuku Umar 1, Menteng, Jakarta Pusat. Tepatnya, pada 23 September 2015 ketika saya dan rekan blogger menelusuri salah satu ruangan yang dulu sempat jadi kantor imigrasi.

Tampak, berderet beberapa koleksi barang antik, foto, dan juga lukisan dengan berbagai tema. Mulai dari film, musik, hingga jejak bapak proklamator, Sukarno, yang terpajang dengan apik. Ketika asyik mengabadikan berbagai pemandangan menarik itu, mata saya tertuju pada bingkai foto berwarna keemasan yang terlihat jadul tapi memesona bertuliskan Tiga Dara.

*         *         *

MALAM itu, rinai masih membasahi ibu kota pada pertengahan Agustus lalu. Nyaris dua jam saya menanti sang dewi hujan berhenti mencurahkan airnya dari langit. Hingga, setelah seperminuman teh, akhirnya hujan reda. Langsung saya tancap gas menemui rekan blogger menuju bioskop di kawasan Blok M untuk menyaksikan Tiga Dara.

Sayangnya, pertunjukkan yang saya ingin pesan sudah berlangsung 30 menit. Alias, saya telat yang terpaksa hanya mendapat penayangan terakhir. Sambil menunggu sekitar 1,5 jam, kami pun menyempatkan diri untuk menangsel perut di pelataran pertokoan yang menyediakan aneka kuliner dengan gudeg sebagai menu yang kami pilih.

Setelah makan dan berkeliling sejenak mencari buku di lokasi yang sama, akhirnya kami pun masuk ke ruangan teater yang terisi lebih dari 3/4 kursi. Berdasarkan pengalaman saya pribadi dalam lima tahun terakhir, rekor penonton itu -untuk film nasional- menyamai Ada Apa dengan Cinta 2, Rudi Habibie, The Raid 2: Berandal, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Habibie & Ainun, dan The Raid. Namun, semua film yang saya sebut itu baru. Sementara, Tiga Dara, merupakan restorasi dari film yang rilis pada 1956.

Pun begitu dengan penonton yang saya lihat, beraneka ragam. Dari yang masih remaja, dewasa, hingga lanjut usia. Bahkan, ada beberapa yang membawa keluarga utuh tiga generasi seperti kakek-nenek, suami-istri, dan anak/cucu.

Sambil menantikan tayangan berlangsung, saya melihat iklan dari beberapa film nasional lainnya. Termasuk, Ini Kisah Tiga Dara karya Nia Dinata yang terinspirasi dari Tiga Dara.

Seusai parade iklan film nasional, lampu di teater padam dengan hanya disinari sorotan pada layar. Akhirnya, film yang disutradarai Usmar Ismail dimulai dengan nyanyian dari ketiga bersaudara. Yaitu, Nunung yang diperankan Chitra Dewi, Nana (Mieke Wijaya), dan Nenny (Indriati Iskak) yang juga ditemani Herman (Bambang Irawan).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun