Mohon tunggu...
Muhammad Rodinal Khair Khasri
Muhammad Rodinal Khair Khasri Mohon Tunggu... Dosen - Penulis Lepas

Peneliti di Collective Academia/ Co-Founder/ Koordinator Bidang Religious dan Cultural Studies; Alumnus Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada; sekarang berdomisili di Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Relasi Pemikiran Jean-Jacques Rousseau, Immanuel Kant, dan Georg Wilhelm Friedrich Hegel

4 September 2019   17:27 Diperbarui: 4 September 2019   17:34 2752
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

4. Teori Kontrak Sosial

Dalam menyelesaikan permasalahan yang dipermasalahkannya, Rousseau menghadirkan sebuah teori kontrak sosial yang berbeda dengan teori kontrak sosial Hobbes dan Locke. Rousseau tidka ingin melacak sosialitas berdasarkan perintah atau paksaan tertentu, karena hal itu sangat tidak relevan dengan kondisi alamiah manusia beserta hak-hak alamiahnya. Paksaan merupakan kekuasaan fisik (physical power). Hal ini membuat Copleston sebagai pembaca Hegel agak sedikit kesusahan dalam melacak efek moral di dalam teori kontrak sosial yang didasarkan kepada sebuah pola piker bahwa manusia itu harus dikekang dengan serangkaian aturan-aturan yang memaksa. Kehadiran aturan-aturan yang memaksa dan mengekang di bawah otoritas dalam masyarakat sejatinya membuat keadaan alamiah manusia tidak dapat termanifestasi secara maksimal.

Di dalam bukunya "Contract Social" cita-citanya diuraikan lebih lanjut. Rousseau bukan mengingatkan supaya masyarakat yang telah ada ditiadakan, tetapi ia menerima bahwa hidup bermasyarakat adalah perlu sekali. Sekarang orang tidak mungkin bisa hidup tanpa pertolongan dari orang lain. Akan tetapi keuntungan-keuntungan yang terdapat dalam keadaan alamiah itu harus sedapat mungkin tetap dipelihara. Harus ditemukan suatu bentuk persekutuan di mana kebebasan  dan kesamaan, yang dinikmati orang pada zaman alamiah, tetap dipertahankan, sejauh kehidupan bermasyarakat memungkinkannya. Dalam keadaan alamiah orang hidup dalam kebebasan, karena hidup orang hanya tergantung kepada barang-barang, bukan kepada sesamanya. Kebebasan itu harus diambil alih dengan cara demikian, bahwa hidup perorangan hanya digantungkan kepada undang-undang semata-mata, sebagai pengungkapan asali dari "kehendak umum". Untuk itu hubungan, yang menjadikan seseorang tergantung dengan orang lain, haruslah ditiadakan. Pengertian "kehendak umum" harus dibedakan dengan "kehendak semua orang". Yang dimaksud dengan "kehendak semua orang" ialah kehendak sebagai hasil keputusan suara terbanyak, yang belum tentu mencerminkan kehendak umum. Kehendak umum ditujukan kepada kepentingan umum, yang tidak dapat tersesat, karena senantiasa mengikuti hal-hal yang benar. Kehendak umum ini dapat menjadi kekuatan yang memaksa, jikalau terjadi karena suatu perjanjian, yaitu perjanjian kemasyarakatan (Contract Social). Hanya dengan demikian segala rintangan yang terdiri dari egoisme dan kepentingan sendiri dapat ditiadakan. (Hadiwijono, 1980:60-61)

B. Immanuel Kant

1. Etika Deontologi Moral atau Etika Kewajiban Immanuel Kant

Sebagai pengantar dalam pembahasan etika, perlu diketahui tentang definisi akal budi menurut Immanuel Kant. Akal budi adalah kemampuan untuk mengatasi medan pancaindra, medan alam. Akal budi itu adalah murni apabila, atau karena, ia bekerja tanpa penentuan oleh unsur-unsur empiris dari medan pancaindra. Jadi, akal budi tidak bergantung pada pengalaman dan faktor-faktor empiris. (Suseno, 1997:142)

Oleh Franz Magnis Suseno dipertegas bahwa gaya berfilsafat Immanuel Kant adalah murni deduktif, tanpa memperhatikan unsur-unsur pengalaman empiris. Menurut Kant, prinsip-prinsip moralitas sama sekali tidak tergantung pada pengalaman. (Suseno, 1997:142)

Akal budi yang berhubungan dengan pengertian adalah akal budi teoretis, sedangkan yang berhubungan dengan tindakan adalah akal budi praktis. Oleh karena itu, Kant membedakan akal budi ke dalam dua kategori, yakni akal budi teoretis murni (yang dikritik dalam Kritik Akal Budi Murni) dan akal budi praktis murni (yang dikritik dalam Kritik Akal Budi Praktis). (Suseno, 1997:142)

Ada perbedaan besar antara dua akal budi murni yang diutarakan oleh Kant di atas. Kant menolak akal budi teoretis murni, karena menurut Kant tidak ada pengertian teoretis sah yang tidak berdasarkan pengertian indrawi. Sebaliknya, dalam tindakan hanyalah akal budi praktis murni. Jadi, Kant menyimpulkan bahwa akal budi yang tidak bersyarat atau bergantung pada  data-data empiris lah yang dapat menjadi rujukan dalam penemuan prinsip-prinsip moral. (Suseno, 1997: 142)

  • Tentang Moralitas

Apa itu moralitas? Pertanyaan yang sangat menarik sekaligus sebagai pembuka dari pembahasan mengenai deontologi moral Immanuel Kant.

Moralitas menyangkut hal baik dan buruk, tetapi bukan sembarang baik dan buruk dalam pengertian awam, melainkan dalam pengertiannya Kant menyebutnya sebagai apa yang baik pada dirinya sendiri, yaitu yang baik tanpa pembatasan sama sekali. Kebaikan moral adalah yang baik dalam segala segi, tanpa adanya pembatasan sedikitpun. Maka, yang baik adalah baik secara mutlak. Itulah penjelasan awal Kant tentang moralitas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun