Mohon tunggu...
Roby Arman
Roby Arman Mohon Tunggu... Atlet - Mahasiswa

Hubungan Internasional

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sampai Kapan Rakyat Menjadi Korban Elit Politik Setiap Pilpres?

2 Mei 2024   10:46 Diperbarui: 2 Mei 2024   13:08 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Capres No 02 & Capres No 01. Dokumentasi pribadi

Setiap kali ada pemilihan umum di Indonesia, kita disuguhkan dengan pertarungan sengit antara partai politik, kandidat, dan juga dukungan dari masyarakat. Namun, ironisnya, setelah pertarungan usai, kita sering kali menyaksikan partai politik yang sebelumnya berseteru justru bergabung dalam koalisi. Fenomena ini tidak hanya menimbulkan pertanyaan tentang integritas dan nilai-nilai politik, tetapi juga memberikan gambaran tentang dampaknya terhadap arah politik Indonesia.

Selain itu, rakyat selalu menjadi korban setiap pilpres, mereka rela memusuhi kerabatnya demi mendukung dan membela kandidat capresnya. Namun, yang ironisnya lagi, setelah pilpres berakhir, kandidat dan partai yang mereka dukung malah berkoalisi, meninggalkan rakyat yang telah menjadi korban persaingan politik tersebut.

Meskipun rivalitas yang terjadi selama kampanye dapat dipandang sebagai bagian yang tak terpisahkan dari dinamika politik yang kompetitif, namun hal tersebut juga berpotensi menciptakan lingkungan politik yang beracun. Serangan personal dan kampanye negatif cenderung menjadi norma, memperburuk keadaan politik yang seharusnya menjadi ajang penuh ide dan gagasan.

Namun, yang lebih membingungkan adalah kemudian melihat partai politik yang sama-sama bersitegang, akhirnya bersekutu di bawah bendera yang sama setelah pertarungan usai. Hal ini menimbulkan keraguan akan konsistensi dan kesungguhan dari keyakinan politik yang mereka deklarasikan di awal. Sepertinya, kepentingan pribadi dan keinginan untuk memperkuat posisi politik seringkali mendominasi.

Perilaku semacam ini juga memelihara budaya oportunisme politik di mana kesetiaan ideologis digantikan oleh kesempatan yang lebih menguntungkan secara pribadi. Akibatnya, kepercayaan publik terhadap proses politik bisa terkikis, dan sikap skeptisisme terhadap elit politik semakin menguat.

Tidak hanya itu, kesanggupan partai politik untuk mengubur belenggu persaingan dan bersatu kembali menimbulkan pertanyaan tentang akuntabilitas dan transparansi dalam proses politik. Hal ini menyoroti kebutuhan akan kebijakan yang konsisten dan jelas, serta perlunya pertanggungjawaban atas keputusan masa lalu yang telah mereka buat.

Sebagai kesimpulan, dinamika antara persaingan politik yang sengit di Indonesia dan pembentukan koalisi partai politik setelahnya adalah isu yang kompleks dan memerlukan pemikiran mendalam. Sementara persaingan itu sendiri adalah bagian tak terhindarkan dari proses politik, kita juga harus mempertanyakan motivasi dan nilai-nilai dari partai politik serta dampaknya terhadap arah politik Indonesia secara keseluruhan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun