Mohon tunggu...
Roby Mohamad
Roby Mohamad Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Hanya tidur, bermimpi, bangun, melamun, dan satu lagi: jarang mandi! :P

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Cinta Tuhan, Cinta Sesama

2 Februari 2017   13:27 Diperbarui: 2 Februari 2017   13:43 1334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sebagai pamungkas para Nabi yang paripurna (khatamun Nabiyyin), Rasulullah Muhammad Saw. diperintah Tuhan agar mengikuti jejak-jalan petunjuk para Nabi sebelumnya, dan menegaskan bahwa Al-Quran yang diturunkan kepadanya tidak lain merupakan peringatan untuk seluruh umat semesta (QS. Al-An’am: 90). Karena itu, firman Allah agar Muhammad mengatakan: “Jika kalian benar-benar mencintai Allah, maka ikutlah aku, niscaya Allah mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali ‘Imran: 31).

Setidaknya, ada dua kiat yang ditawarkan Islam untuk membangun cinta kepada Tuhan, agar kita bisa mengikuti Rasul Muhammad dan petunjuk Tuhan, sehingga kita mampu menelusuri jalan spiritual menuju taman cinta-Nya. Dua kiat ini akan penulis jelaskan secara singkat sebagai berikut:

1. Meyakini Allah sebagai Tuhan Yang Maha Esa

Bagaimana mampu mencintai Allah jika tak meyakini-Nya sebagai Tuhan Yang Maha Esa? Namun, bagaimana pula mungkin kita bisa meyakini-Nya tanpa mengenal-Nya terlebih dahulu? Al-Quran mengisahkan berbagai perjuangan para Nabi untuk mengenalkan Allah sebagai Tuhan Yang Maha Esa kepada kaum mereka agar mereka meyakini dan beriman kepada-Nya. Nabi Ibrahim, misalnya, mengamati sang ayah dan kaumnya di kerajaan Babilonia meyembah berhala, bintang-gemintang, rembulan, dan matahari.

Maka dengan lembut, tegas dan lugas, Nabi Ibrahim memperingatkan mereka atas titik sesat agama mereka: Tuhan tidak mungkin “tak bisa berbicara-tak bermanfaat atau malah terbenam atau berubah-ubah dari tiada ke ada serta sebaliknya”, lalu Nabi Ibrahim mengajari mereka pandangan akal yang sehat-sistematik untuk menemukan dan mengenali Tuhan bahwa “Alam semesta ini berubah, dari semula tak ada menjadi ada, kemudian bisa jadi kembali tidak ada. Jadi, siapakah yang menciptakan “perubahan” alam semesta raya ini?” Maka, Sang Penciptalah yang berhak sebagai Tuhan sejati, yang tak sepatutnya dipersekutukan (QS. Al-An’am: 74-80)[5]. Di surat yang lain, Al-Quran juga memberi “kunci” bagaimana Nabi Ibrahim mendapat petunjuk (hidayah-huda) dari Allah sehingga bisa “menemukan” dan mengenal Tuhan yang sejati. Selain menggunakan akal pikiran yang sehat, Nabi Ibrahim juga memiliki hati yang bersih-suci (QS. Ash-Shaffat: 84).

Dari dua surat diatas, bisa disimpulkan bahwa ajaran Nabi Ibrahim tentang ketuhanan adalah Monotheisme yang bersih, atau Tauhid sejati. Tidak ada Tuhan melainkan Allah. Tetapi setelah bergulirnya waktu hingga tiba ter-utusnya Nabi Muhammad, Tuhan Nabi Ibrahim yang masyarakat Arab-Quraisy dakwahkan itu hanya tinggal nama. Masyarakat Makkah dan Arab saat itu telah kembali menyembah hingga 360-an berhala, yang mengelilingi Ka’bah[6], padahal dahulu didirikan Nabi Ibrahim bersama putranya Nabi Isma’il untuk menyembah Tuhan Yang Maha Esa (QS. Al-Baqarah: 127).

Ketika masyarakat Makkah dan beberapa ahli agama di Arab mulai mempertanyakan konsep ketuhanan yang dibawa oleh Nabi Muhammad, maka Allah pun menjawab “rasa penasaran” mereka dengan menurunkan surat Al-Ikhlash yang agung:

“Katakanlah (wahai Muhammad): “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa, Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.”(QS. Al-Ikhlash: 1-4)

Dengan kisah kedua Nabi Allah di atas, lengkaplah sudah bagaimana kita bisa mengenal Tuhan yang Maha Esa dan konsep ketuhanan perspektif Islam melalui kitab sucinya, Al-Quran Al Karim. Dengan mengoptimalkan perangkat akal-sehat dan jiwa-naluri atas petunjuk-Nya, manusia pasti mampu mengenal Allah dan meyakini-Nya sebagai Sang Pencipta Tunggal, yang bukti-bukti keagungan-Nya terhampar luas dalam setiap ciptaan-Nya (al-Âyât al-Kauniyyah, QS. Al-Baqarah: 164) dan juga terjelaskan dalam ayat-ayat suci Al-Quran.

2. Memperbanyak Mengingat-Nya

Mengenal dan meyakini Tuhan tidak serta-merta membuat seseorang langsung “jatuh cinta” kepada-Nya. Memang keduanya merupakan prasyarat mencinta-Nya, tapi tentu merengkuh cinta Tuhan tak semudah membalik tangan, bukan? Keyakinan iman kita harus diperkuat dan terus di-update dengan kiat kedua: senantiasa berupaya memperbanyak ingat kepada-Nya sepanjang waktu. Sulit? Tidak terlalu juga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun