Hari masih pagi ketika sebuah jung berukuran besar nampak diam tenang menghadap pelabuhan laut Tuban. Dikelilingi dengan jung yang lebih kecil dan beberapa berukuran sedang membentang di sepanjang garis pantai. Di sebelah barat samar-samar nampak barisan perahu dagang beraneka ukuran yang sandar dan bongkar muat komoditi perdagangan antar nusa.
Jung besar itu sendiri seperti kapal komando dari banyak jung-jung lainnya. Kibaran bendera ular-ular berwarna gula kelapa yang tertiup angin menjadikan nampak jelas kelompok jung tersebut merupakan armada angkatan laut Majapahit yang sedang berpatroli di wilayah utara Jawa.
Baru saja armada ini melaut hendak kembali ke pangkalan utama yang bersembunyi di sudut selat agak ke timur Ujung Galuh, tatkala sebuah jung kecil yang melaju lincah dengan dorongan angin darat cukup kencang memapas rombongan armada itu.
Bendera sandi saling melambai bertukar komunikasi, tak lama kemudian jung kecil itu merapat ke jung paling besar yang menjadi kapal komando utama dari armada laut Kerajaan Majapahit.
Beberapa orang segera melompat dan mendaratkan kakinya di geladak. Mereka adalah para caraka Majapahit yang membawa pesan khusus kepada pimpinan armada kapal itu. Jung kecil yang tadi lantas berbalik arah kembali menuju ke Ujung Galuh, kumandang genderang bertabuh memecah angin menjadi pertanda naiknya layar kapal utama armada, memberi tanda berita untuk memutar arah berlayar kembali ke barat. Sesuai dengan isi pesan sandi dari para Mahamantri Hino Majapahit, armada itu akan berlabuh di garis pantai Tuban.
...
Sementara dalam waktu yang sama, disebuah pasar tak jauh dari ujung jalan keluar masuk ke dermaga Tuban, hiruk pikuk pedagang menjadi lebih ramai dari biasanya. Kapal-kapal besar para saudagar sandar dan menurunkan banyak rupa ukuran peti-peti yang berisi beraneka dagangan. Suasana di pasar yang nampak ramai ini berbanding terbalik dengan keadaan di dalam lingkungan kadipaten Tuban.
Para pejabat menjadi amat sibuk, bersiap seolah-olah sedang akan menghadapi prahara. Cerita soal Adipati Tuban yang dianggap berseberangan dengan Kotaraja menjadikan banyak para pejabat di kadipaten Tuban memperbincangkan segala hal kemungkinan yang akan terjadi. Para punggawa berjaga secara bergantian dalam kewaspadaan penuh, patroli prajurit disebar ke penjuru kadipaten.
Para lurah, bekel, para nalapraja dan juga rakyat sedang dihadapkan pada satu pilihan, berseberangan dengan Majapahit.
Berjarak lebih 100 tombak dari gerbang pelabuhan Tuban, sebuah kedai minum yang cukup ramai dengan halaman yang luas dan memiliki beberapa bilik untuk menginap telah penuh dengan para tamu-tamu, para saudagar yang sedang berdagang, pelancong dan orang asing dari negeri seberang.
Tuban merupakan dermaga niaga yang sudah ada semenjak era Singhasari- bahkan sudah ada dari era Raja Airlangga. Pernah menjadi titik pendaratan bagi pasukan Mongol yang berkehendak meluaskan ekspansinya ke tanah Jawa sekaligus menundukkan Singhasari. Pantai Tuban digambarkan memiliki tempat yang ideal serta strategis bagi berlabuhnya kapal besar maupun kecil, dilengkapi dengan fasilitas untuk perbaikan kapal-kapal juga gudang penyimpanan barang bagi pasokan logistik untuk berlayar.
Dari jaman Singahasari, Tuban sudah menjadi urat nadi niaga terpenting yang menghubungkan wilayah utara jawa pesisir dengan pelosok, rute dagang berbagai komoditi barang, rempah, ternak dan lain-lain dilakukan melalui rute darat melewati beberapa kabupaten, hingga berakhir masuk ke jantung Kotaraja dan atau lebih jauh lagi ke pelosok hingga ke selatan Jawa.
Ki Demang Ragasemangsang dengan ditemani Utami telah beberapa hari tiba di Tuban, mereka menyewa bilik di penginapan yang pemiliknya masih kawan Ki Demang waktu masih menjadi prajurit muda Singhasari. Setelah mengetahui tujuan Ki Demang datang ke Tuban, Jaran Keling menghubungkan Ki Demang ke beberapa nalapraja yang juga menjadi langganan kedai minumnya.
Cerita beredar begitu rupa dan cepat, situasi di kedai meski normal tapi tetap nampak canggung semenjak beredar kabar Adipati Tuban menyatakan ketidaksukaanya akan pengangkatan Nambi sebagai Mapatih di balairung Kotaraja beberapa waktu lalu. Tentu saja hal ini membuat Ki Demang dan Jaran Keling berhati-hati sekali membuka percakapan dengan para nalapraja yang sedang bersantai minum-minum dan bermain dadu di kedai Jaran Keling.
Tugas pengantar pesan yang diemban oleh Ki Demang mungkin remeh, tapi bisa menentukan arah kebijakan Adipati dan masa depan Tuban sendiri. Pesan yang salah dalam penyampaian justru dapat memperburuk keadaan. Oleh sebab itu perlu upaya mendekati para nalapraja dengan baik dan diam-diam.
Sepenglihatan Ki Demang sesampainya di Tuban, kedai Jaran Keling telah menjadi tempat berkumpulnya banyak telik sandi, dengan bermacam rupa dan juga kepentingan.
Sebuah siasat dilakukan agar Ki Demang dapat berjumpa secara langsung dengan Adipati Tuban, menyampaikan pesan dan menunggu sesaat reaksi Sang Adipati, lalu kembali ke Majapahit sebelum pecah perang terjadi. Berkejaran dengan waktu, sementara semakin hari di Tuban semakin ramai orang yang berbincang bagaimana rupa Majapahit akan menghukum Adipati mereka.
...
Sudah hampir siang, Utami yang dari pagi berkuda ke arah pesisir belum kembali ke kedai. Ki Demang sedang berbincang dengan dua orang nalapraja Tuban yang merupakan pejabat kepercayaan Adipati, menemaninya minum dan bermain dadu. Satu peran dilakukan Ki Demang menjadi bandar permainan dadu, melayani dua nalapraja yang suka menghabiskan waktu menunggu sore datang menjelang.
Jaran Keling mendapat peran mangamati sambil membaca situasi dari ocehan kedua nalaparaja yang dibuat senang oleh Ki Demang karena menang bermain dadu. Ki Demang sendiri dengan sedikit demonstrasi tenaga dalam ringan memutar dadu-dadu dalam mangkuk terbuat dari bathok kelapa itu sesuai dengan tebakan dari dua nalapraja, dan membuat mereka senang karena menang.
Tiba-tiba salah satu nalapraja itu berucap, "sore ini Adipati Rangga akan berkuda ke pelabuhan. Menjemput ayahanda yang baru berlayar dari Songenep."
"biasanya, setelah itu akan mampir ke kedai sini, menagih tuak wangi simpanan Jaran Keling", sambil terkekeh nalapraja itu melanjutkan ocehannya, "dia sudah lama tidak bermain dadu, cobalah membujuknya untuk malam ini bermain dadu, biar tidak terlampu memikirkan apa kata Majapahit soal Mapatih Nambi yang sedang tidak suka padanya. Biarkan bersantai sejenak, satu dua putaran dadu, cukuplah."
Ki Demang dengan peran drama yang dilakukannya berkata sambil menoleh ke Jaran Keling, "berapa kau punya kepeng emas?"
"Banyak, berapa banyak yang kau perlukan?" sahut Jaran Keling.
"setidaknya cukup untuk mengimbangi Adipati bermain, aku rasa akan menang banyak malam ini." Meledaklah tawa Ki Demang, disusul Jaran Keling juga dua nalapraja yang masih asik karena menang bermain dadu.
Ki Demang semakin memperinci rencananya dalam mendekati dan menyampaikan pesan. Sementara ia memperkirakan waktu tempuh dari serombongan pasukan Majapahit yang semakin dekat memasuki wilayah Kabupaten Tuban, baik rute darat maupun pasukan laut. Selama bermain dadu, Ki Demang sudah menghitung berapa banyak telik sandi yang sengaja berperan pura-pura menjadi tamu kedai dan duduk mendekat di sekitar meja permainan dadu dan menguping perbincangan.
(bersambung)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI