Proyek ini bertepatan dengan materi Sistem Pernapasan. Proyek terakhir lahir saat membahas topik bahaya rokok. Alih-alih hanya menghafal zat-zat berbahaya, saya menantang siswa untuk membuat alat sederhana yang bisa mendeteksi tar pada rokok. Dengan eksperimen menggunakan sensor sederhana, mereka berhasil merancang prototipe alat detektor tar. Hasilnya bukan hanya sebuah karya STEM, tetapi juga sarana kampanye. Mereka menunjukkan kepada teman-temannya bahwa asap rokok benar-benar mengandung tar, sehingga harus dihindari.
Dari sini saya belajar, STEM bukan hanya soal sains dan teknologi, tetapi juga bisa menjadi sarana edukasi moral dan kesehatan.
STEM di Indonesia: Antara Harapan dan Tantangan
Pengalaman di kelas saya sejalan dengan temuan banyak penelitian tentang STEM di Indonesia. Sebuah systematic literature review menunjukkan bahwa penelitian tentang STEM di Indonesia meningkat pesat sejak 2016, terutama dalam bidang strategi pembelajaran, media, dan evaluasi (Ramadhani et al., 2021). Artinya, ada kesadaran kolektif bahwa STEM penting untuk masa depan pendidikan kita. Penelitian lain menegaskan bahwa urgensi STEM di Indonesia terletak pada kemampuannya meningkatkan kreativitas, literasi sains, dan keterampilan problem solving siswa (Utami & Istiyono, 2021). Namun, implementasinya tidak mudah. Sebuah studi menemukan tiga hambatan utama: keterbatasan fasilitas, kesiapan guru, dan manajemen kelas yang heterogen (Wijaya et al., 2022).
Fakta lain yang menarik datang dari penelitian persepsi guru dan siswa: banyak guru setuju bahwa STEM itu penting, tetapi masih bingung bagaimana menerapkannya karena kurikulum nasional masih memisahkan mata pelajaran secara kaku (Rahmawati, 2020). Namun, kabar baiknya adalah, setiap kali STEM diterapkan, hasilnya konsisten meningkatkan keterampilan abad 21. Sebuah studi melaporkan bahwa siswa yang terlibat dalam proyek STEM menunjukkan peningkatan signifikan dalam berpikir kritis, kreativitas, dan kolaborasi (Sari et al., 2021).
Refleksi dari Kelas Malang
Dari tiga proyek yang saya jalani bersama siswa, ada beberapa refleksi penting:
1. Siswa butuh ruang untuk bereksperimen. Kreativitas lahir saat mereka diberi kebebasan untuk mencoba dan gagal. STEM memberi ruang itu.
2. Guru sebagai Fasilitator, bukan sumber segalanya. Tugas saya bukan memberi jawaban, melainkan mengarahkan. Siswa lah yang menemukan, mencoba, dan menyimpulkan.
3. Keterbatasan justru menjadi sumber inovasi. Dengan alat sederhana dan biaya minim, siswa belajar bagaimana berkreasi. Keterbatasan justru mengasah problem solving.
4. Keterhubungan ilmu. Dari biologi ke fisika, dari teknologi ke matematika, semua terintegrasi dalam satu proyek. Inilah esensi STEM.
Pendidikan Bermutu: Jalan Menuju Abad 21
Karya siswa saya, bor jantung, inkubator tempe, detektor tar—adalah contoh kecil bagaimana pendidikan bisa bermakna. Mereka bukan hanya mempelajari konsep, tetapi juga menghidupkannya dalam karya nyata. Inilah yang saya sebut pendidikan bermutu: ketika siswa bukan sekadar lulus ujian, tetapi mampu menghubungkan pengetahuan dengan kehidupan, berani berinovasi, dan berkontribusi pada masyarakat. Jika pendekatan STEM diperluas di sekolah-sekolah lain, saya yakin Indonesia bisa mencetak generasi yang siap menghadapi tantangan abad 21. Tentu, butuh dukungan kebijakan, pelatihan guru, dan fasilitas. Namun pengalaman saya membuktikan bahwa bahkan dengan alat sederhana pun, siswa bisa melahirkan inovasi besar.