Mohon tunggu...
Robbi Khadafi
Robbi Khadafi Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Suka musik dan motogp, dan kegiatan saya diluar nulis adalah ojek online

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sungguh Hinanya Uang Logam Rp 100 dan Rp 200

28 Juli 2018   15:18 Diperbarui: 28 Juli 2018   15:35 1131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya ingin berbagi pengalaman yang kurang mengenakan berbelanja menggunakan uang logam Rp 100 dan 200. Sampai timbul dibenak saya sungguh hinanya dan tidak berharganya uang logam receh tersebut di Indonesia.

Pada Kamis dini hari kemarin, saya iseng mengumpulkan uang logam pecahan Rp 100 dan 200 yang berserakan di rumah. Terkumpul sekitar Rp 12.000. Saat bersamaan saya kehabisan rokok. Dari pada uang logam itu mubazir tidak digunakan, saya belanjakan di warung rokok dekat rumah.

Di dalam perjalanan saya sempat khawatir apakah laku uang logam recehan di belanjakan, apalagi jumlahnya banyak. Kalau cuma sedikit tidak masalah. Kekhawatiran saya terbukti, dimana pedagang warung menolak saya membeli rokok sebungkus dengan harga Rp 17.000 dengan uang logam Rp 100 dan 200 ditambah dengan uang logam Rp 500.

Awalnya saya bilang ke pedagang itu "tidak apa-apa kan bang uangnya recehan." Lalu dijawab "tidak apa-apa mas." Namun ketika saya tunjukan uang logam yang saya taruh di kantong plastik hitam, pegadang warung kaget. Kemudian dia menolak saya membayarnya dengan uang logam itu. 

Bapak setengah baya itu lalu berkata "Kalau uang recehannya Rp 500 tidak apa. Kalau recehan Rp 100-200 tidak ada yang mau kalau di kasih kembalian. Tidak laku." 

Saya tidak putus asa dan penasaran masa uang logam itu tidak laku. Padahal-kan itu juga uang yang diproduksi oleh pemerintah sebagai alat transaksi jual beli. Di masyarakat bahkan ada lelucon uang Rp 1 juta tidak bisa menjadi Rp 1 juta kalau kurang dari Rp 100.

Lalu saya kembali mencoba membelanjakan uang receh itu ke warung yang lokasinya tidak jauh dari warung pertama. Saya kembali mengatakan ke pedagang warung "boleh kan bang saya beli rokoknya pakai uang receh." lalu dijawab mas mas penjaga warung "tidak apa-apa mas." 

Saya tunjukan uang logam 100 dan 200 yang berjumlah Rp 12.000 ditambah yang logam Rp 500 yang berjumlah Rp 8000 yang saya bungkus dalam kantong plastik hitam. Lagi-lagi pedagang warung kaget dan menolak barang dagangannya dibeli dengan uang logam.

Setelah saya rayu-rayu dan sedikit memaksa agar saya beli membeli rokok sebungkus dengan harga Rp 17.000. Akhirnya mas-mas penjaga warung membolehkan rokok yang dijualnya dibeli dengan uang logam recehan. 

Saya tidak tahu mengapa pedagang warung itu mau barang dagangannya dibeli dengan uang receh. Mungkin dia kasihan dengan saya yang mau ngerokok tapi punya uangnya recehan Rp 100 dan 200. 

Sungguh hinanya uang logam Rp 100 dan 200 ini juga sering saya alami dan orang lain ketika berbelanja di minimarket maupun supermarket. Di mana uang kembalian yang nominalnya berkisar Rp 100-500, sering diganti dengan permen. Bahkan sering juga dibilang tidak ada uang recehan. Pada akhirnya kita sebagai pembeli mengikhlaskannya.

Demikian pengalaman saya dengan uang logam Rp 100 dan 200 yang kurang mengenakan yang mungkin Anda juga pernah alami.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun