Mohon tunggu...
Robbi Gandamana
Robbi Gandamana Mohon Tunggu... Ilustrator - Ilustrator

Facebook : https://www.facebook.com/robbi.belumfull -------- IG : https://www.instagram.com/robbigandamana/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Apakah Rindumu pada Ramadhan Cuma Kerinduan yang Materialistis?

5 April 2021   14:48 Diperbarui: 5 April 2021   17:08 767
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar : healthtalk.unchealthcare.org

Bulan Ramadhan sudah di ambang pintu. Aura kerinduan umat muslim pada bulan suci itu terasa sekali saat ini. Tapi nggak tahu, kerinduan itu karena puasanya atau pahalanya yang berlimpah. Atau kerinduan melakukan diet berjamaah (bagi para gembroter).

Apakah kita masih meridukan Ramadhan jika seandainya Allah ngasih pengumuman, "karena saat ini lagi krisis pahala, maka pahala di bulan puasa ditiadakan.."?

Ala raimu. Ayo jujur saja, bilang kalau puasa itu nggak enak. Perut lapar, lemes, lapo-lapo males. Yang enak itu makan, perut kenyang, kerja dengan riang, atau keluyuran, pergi pagi pulang petang.

Makanya bulan puasa itu sebenarnya bulan penderitaan, bukan bulan senang-senang. Luwe kok seneng-seneng. Mikir!

Aku sendiri agak sungkan merindukan bulan Ramadhan, karena yang kurindukan itu bukan puasanya, tapi pahala berlimpah, pintu ampunan yang terbuka lebar, dan segala diskon dari Allah untuk kenyamanan hidup di akhirat kelak. Merindukan upahnya. Pamrih banget. Kerinduan yang materialistis.

Kita biasa membayangkan pahala itu seperti segepok emas atau sesuatu yang bersifat materi. Wajar sih,  karena kita selalu dijanjikan kemewahan surga oleh ustadzzz.  Real estate, bidadari, sungai arak, sungai susu (tanpa pentil), dan kemewahan lainnya.

Kadang itulah yang membuat ibadah kita salah niat. Pergi haji berniat agar dagangannya tambah laris, shalat duha agar diterima jadi pegawai negeri, sedekah agar dapat kembalian berlimpah. Jadi ibadah bukan karena rasa syukur, tapi ngincer laba.

Yo wis lah gak popo, sing penting ibadah daripada gak blas.

Yang jelas aku rindukan itu Lebaran. Karena di hari itu dompet tebal (dapat THR), makanan berlimpah, kumpul  sanak saudara. Hari itu semua orang sumringah. Semua orang berbagi uang walau sedang dililit utang. Pokoke dino iku isine cengengesan tok. The Mrenges Day.

Nggak salah kalau Simbah dulu bilang bahwa manusia itu sebenarnya nggak suka puasa. Lebih suka kenyang daripada lapar. Makanya kita diperintahkan puasa. Kalau kita sudah suka puasa, nggak akan ada perintah puasa. Lha wong diwajibkan puasa saja ada yang mbalelo dan teriak sinis :  "Diakali wong Arab!"

Nggak papa kalau kita jujur bilang nggak suka puasa, yang penting kita ikhlas melaksanakannya. Seperti seseorang yang minum jamu. Dia nggak suka jamu, lebih suka sirup Mak Jan. Karena jamu itu pahit, gak enak blas, tapi dia ikhlas dan sadar kalau jamu itu baik bagi tubuhnya yang ringkih. Lha ya'opo, bercinta selama lima menit, tapi dengkul lemes seminggu.

Karena orang yang hebat itu yang melakukan hal baik yang tidak disukai. Melakukan suatu hal yang sudah disukai itu biasa saja, nggak hebat. Apa hebatnya kalau kamu hobi bersepeda dan kamu bersepeda tiap hari. Yang hebat itu orang yang tidak suka bersepeda, tapi memaksakan diri bersepeda tiap hari karena dia sadar bahwa itu baik bagi kesehatannya.

Tapi walau bagaimanapun, merindukan Ramadhan itu bagus, lanjutken. Soal yang kamu rindukan puasa atau pahalanya, monggo saja. Tiap orang punya level kesadaran yang berbeda.

Pesene Suyat, nggak usah berdebat soal apakah manusia itu nggak suka puasa atau tidak. Lakukan saja dengan benar dan ikhlas. Karena sudah terbukti secara empiris kalau puasa itu baik bagi kesehatan jiwa dan raga. Minimal bisa menundukan felimu yang gampang ndangak kalau lihat yang mlenuk-mlenuk. Ya'opo iso ndangak nek keluwen.

Nggak ada orang mati kelaparan karena puasa Ramadhan. Kecuali kalau tanpa sahur dan berbuka, atau orang sakit yang memaksakan diri berpuasa. Itu dilarang. Walaupun ada sakit tertentu yang obatnya puasa. Karena ilmu kesehatan yang tertinggi itu makan saat lapar dan berhenti saat kenyang.

Jarene Prayit, kondisi terbaik itu saat perut lapar. Asal tidak sampai kelaparan. Perut yang kekenyangan membuat pikiran tidak jernih, gampang ngantuk dan feli ngatjengan.

Orang yang gampang sakit itu yang makannya rakus. Yang tidak menggunakan lidahnya sebagai fungsi kesehatan tapi fungsi kuliner. Makan sampai kenyang betul . Padahal rasa kenyang itu terasa saat 15 menit kita makan. Kalau kamu makan sampai kekenyangan, itu karena perutnya sudah overload.

Seumpama komputer, puasa Ramadhan itu instal ulang bagi yang imannya benjut. Terutama sing bendino kerjone mbukak internet. Mesti tau kesasar nonton susu. Ayo ngaku ae. Kalau imannya sudah oke (sekelas wong alim, ustadz, ulama atau kyai) puasa Ramadhan itu kayak defrag. Kiro-kiro ngono lah, biar ngawur asal benar.

Maka syukur ngAlhamdulillah bagi yang masih dikasih kesempatan berpuasa ria di bulan Ramadhan. Masih dikasih kesempatan untuk instal ulang. Jangan sampai imanmu bad sector. Soale angel tuturane nek wis bad sector. Diingatkan kayak apa pun nggak akan masuk hati dan pikiran, karena sudah tertutup gambar susu.

Wis ah, konsentrasiku rusak nek wis ono kata susu. Gak sido rindu Ramadhan wis.

- Robbi Gandamana -

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun