Mohon tunggu...
Robbi Gandamana
Robbi Gandamana Mohon Tunggu... Ilustrator - Ilustrator

Facebook : https://www.facebook.com/robbi.belumfull -------- IG : https://www.instagram.com/robbigandamana/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar Ilmu Kehidupan dari Mereka yang Putus Sekolah

4 Februari 2020   17:44 Diperbarui: 5 Februari 2020   09:52 604
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar : idntimes.com

Tulisan ini sepertinya hanya cocok untuk menyemangati diriku sendiri. Mungkin nggak cocok buat anda-anda sekalian . Jadi nggak usah repot-repot membacanya.

Jadi begini, hidup itu tidak hitam putih. Banyak orang yang kuliah tinggi-tinggi tapi hanya jadi sales panci. Yang kuliahnya males-malesan, lulus malah jadi pegawai negeri.  Dan itu bener-benar terjadi.

Sekolah yang tinggi memang tidak menjamin seseorang jadi cerdas dan sukses secara materi. Nggak sedikit orang yang hanya lulusan SMA, tapi kecerdasan otaknya mengalahkan profesor kampus ternama. Sebut saja Cak Nun, Gus Dur, Susi Pudjiastuti, Bob Sadino, dan banyak lagi.

Betul omongane Cak Nun bahwa kuliah itu tujuan utamanya untuk membahagiakan orang tua. Maka kalau kuliah, cepetlah lulus dan dapat gelar. Gelar di belakang nama itulah yang membuat orang tua bahagia karena merasa berhasil telah membesarkan anak. Lumayan bisa dibangga-banggakan ke orang lain.

Cak Nun sempat kuliah di UGM ngambil jurusan ekonomi. Tapi hanya sampai semester satu. Karena jurusan ekonomi sebenarnya bukan minatnya. Dan beliau kuliah juga karena dipanas-panasi teman-temannya, "Gak mungkin Ainun iso ketrimo kuliah nang UGM."

Tujuan sekolah itu membimbing anak didik untuk menemukan dirinya. Guru itu membimbing, bukan membentuk. Itulah alasan utama Cak Nun selalu gagal dalam bersekolah. Karena beliau selalu berontak, keingintahuannya begitu besar  dalam menemukan dirinya.

Bahkan pendidikan sekarang bagi Cak Nun malah menutupi diri sejati anak didik. Burung dipaksa jadi ikan. Seharusnya terbang malah berenang. Apalagi setelah lulus, semakin tertutup gelar insinyur, sarjana, magister, dan banyak lagi.

Dalam soal sekolah, kelakuan Cak Nun dan Gus Dur hampir sama. Gus Dur sempat kuliah di Al Azhar, Mesir. Tapi jadi ogah-ogahan kuliah karena pelajarannya sama dengan apa yang dipelajari saat di pesantren. Baginya mempelajari apa yang sudah dipelajari itu sama saja dengan buang-buang umur. Walhasil Gus Dur pun nggak lulus.

Waktu awal masuk kampus Al Azhar, Gus Dur bertemu dan kenalan dengan Gus Mus. Saat Gus Dur bertanya pada Gus Mus, jurusan apa yang diambil. Gus Dur pun dengan santainya memutuskan begitu saja ngambil jurusan yang sama dengan jurusan yang diambil Gus Mus.

Gus Dur memang terkenal nggak mau ruwet. Ketika Gus Dur mengeluarkan dekrit (23 Juli 2001), Cak Nun tanya kenapa kok mengeluarkan dekrit. Dijawab dengan enteng oleh Gus Dur, "Lha wis suwe ganok dekrit hare cak."

Walau lulusan Al Azhar, Gus Mus sebenarnya juga punya riwayat kacau dalam urusan sekolah. Beliau nggak lulus SMA. Bisa kuliah di Al Azhar, Mesir, karena iseng-iseng ngisi form tes masuk di kampus tersebut. Eh lha kok ndilalah diterima.

Sama dengan Gus Mus, Susi Pudjiastuti juga nggak lulus SMA. Beliau menjual perhiasannya untuk  dijadikan modal sebagai pengepul ikan. Kerja kerasnya tidak sia-sia, beliau berhasil mendirikan pabrik pengolahan ikan yang hasilnya dipasarkan ke Jakarta dan Jepang. Tahun 2014 diangkat Jokowi jadi Menteri Kelautan dan Perikanan. Gak lulus SMA dadi menteri.

Tapi asyik saat Susi jadi menteri, para pencuri ikan negeri seberang pada keder. Ketahuan maling ikan, kapal langsung ditenggelamkan. Pulang pakai pelampung.

Lain Susi Pudjiastuti  lain Bob Sadino. Orang ini lebih nyentrik lagi.

Bagi Bob Sadino, sekolah itu membelenggu pikiran. Orang terus terusan menunda bikin usaha karena terbelenggu oleh ilmu yang diajarkan di kampus. Bahwa berwirausaha yang berdasar ilmu manajemen itu harus ini, harus itu. Bob Sadino tidak mau ruwet dengan hal seperti itu. Pokoknya lakukan saja, just do it! Tanpa rencana, tujuan dan harapan. Kayak orang linglung.

Bob Sadino berkeyakinan kalau kuliah itu cuman mengisi otak dengan sampah. Dan kampus cuma mencetak tenaga industri atau karyawan kantoran.

Dia berdalih, dalam perkuliahan mahasiswa dikasih informasi yang sudah basi (sudah terjadi). Sedangkan Bob selalu berusaha mendapatkan informasi fresh yang bisa didapat dari mana saja.

Bob Sadino belajar soal ayam dari majalah peternakan dan pertanian keluaran Belanda. Dia memutuskan berlangganan majalah tersebut untuk menunjang pengetahuannya soal ayam broiler yang sedang digelutinya saat itu. Kebetulan beliau fasih bahasa Belanda. Pernah 2 tahun di Amsterdam kerja di bidang pelayaran. Memutuskan keluar karena nggak cocok dengan atasannya.

Ilmu tidak hanya didapat disekolah. Ilmu di luar sekolah jauh lebih banyak. Jadi, kuliah tidak hanya di kampus, kerja di kantor atau dimana pun itu juga kuliah. Kalau bisanya masih jadi karyawan, anggap saja kantor itu kampus. Belajar tapi dibayar.

Bob Sadino nggak lulus kuliah, tapi malah sering jadi dosen undangan di IPB Bogor. Orang-orang kampus terheran-heran dengan pengetahuan Bob Sadino yang bisa tahu dengan detail soal ayam broiler. Hanya dengan langganan majalah peternakan terbitan Belanda tadi.

Bob Sadino memulai usaha dengan berjualan keliling kampung. Menjajakan telur ayam negeri (layer) dan juga daging ayam negeri (broiler). Ayam asli Belanda yang dikirim temannya dari negeri kincir angin itu.

Ceritanya temannya nggak tega dengan nasib Bob Sadino yang saat itu terpaksa jadi kuli bangunan untuk survive karena mobil taksi satu-satunya (hasil dari kerja di Belanda) rusak berat karena tabrakan. Dan Bob Sadino nggak ada biaya untuk memperbaikinya.

Karena terbebas dari "belenggu", Bob Sadino bisa terus exis dengan usahanya. Dan semakin hari semakin berjaya. Walau usahanya sudah jadi raksasa, dieskpor kemana-mana. Tapi anehnya Bob Sadino nggak mau buka cabang. Sak madyo ae. Nggak kayak Indunmart atau Kipermart yang ada dimana-mana.

Bagi kita uang adalah modal utama dalam memulai usaha. Tapi tidak bagi Bob Sadino. Modal utama itu kemauan kuat, tahan banting, nggak cengeng dan selalu bersyukur. Kalau tidak punya modal intangible (modal nggak berwujud) tadi, buat apa bikin usaha. Rugi 15 juta langsung nyerah, berhenti usaha. Dan itu kisah nyata. You know who you are.

Jadi menurut Bob Sadino, uang itu cuman pelengkap dari modal utama. Bagiku Bob Sadino itu semacam sufi di bidang usaha. Nggak takut gagal, nothing to lose, yang penting usaha keras dan selalu bersyukur dengan apa pun yang terjadi. Dan malah terpaksa sukses.

Pemikiran Bob Sadino mirip Cak Nun. Intinya, nggak usah bercita-cita. Apa hebatnya bercita-cita terus kesampaian. Yang hebat itu tidak bercita-cita, tapi diam-diam Tuhan ngasih. Pokoknya lakukan saja passion-mu dengan sungguh-sungguh, tulus ikhlas dan benar. Nanti akan panen, menjadi expert atau master dari passion-mu itu. Dan kesuksesan akan mengejarmu.

Gila men, aku sendiri belum berani (masih terbelenggu) meniru Bob Sadino atau yang lain. Karena selalu ada faktor X. Maksudku nggak semua orang dikaruniai kehebatan, kecerdasan, nasib baik seperti mereka. Jadi jangan pernah menjadikan kisah mereka menjadi semacam rumus obyektif dengan tidak melanjutkan kuliah, niru mereka. Itu konyol. Tetep kuliah Ndes!

-Robbi Gandamana-

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun