Mohon tunggu...
R. M. S. P. Alam
R. M. S. P. Alam Mohon Tunggu... Wiraswasta - Konsultan Bisnis UKM

Creating the Future

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Dilema Gaji, Mimpi, dan Pengunduran Diri

8 Oktober 2018   22:13 Diperbarui: 28 Agustus 2021   21:12 3485
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (NEWS.HEALTH.COM/ GETTY IMAGES)

"Gue udah kerja lembur bagai kuda, tapi gaji ama bonus ya segitu-gitu aja."

"Kayaknya gue mau pindah kerjaan deh, di sana gajinya lebih gede."

"Kenapa sih bos gue ngeselin banget. Suka ngasi tugas dadakan, gue kan juga punya kehidupan pribadi."

Apakah kita masih sering berkutat dengan keluhan-keluhan di atas? Pertanyaan saya, sebenarnya, apa sih motivasi kerja kita yang paling utama? Gaji kah, untuk modal nikah? Bonus kah untuk mengirim uang ke emak di kampung? Atau pengakuan agar tidak dicap sebagai pengangguran?

Resign telah menjadi topik paling panas di meja makan saat jam istirahat siang. Sesekali topik tentang memulai bisnis juga muncul di sana. Ketika satu orang nyeletuk ingin mulai bisnis---karena bosan dan demotivasi kerja rutinitas kantor-- maka tak ayal yang lainya juga menimpali dengan dukungan, bahkan perasaan yang senasib sepenanggungan. Tapi, topik-topik itu berhenti di meja makan, terlupakan begitu saja setelah orang-orang tersebut kembali ke meja kerjanya.

Menurut saya, ketika intensi keluar disebabkan karena perasaan tidak enak atas gaji yang diterima, atau bos yang terlalu otoriter, atau semacamnya, tidak selalu karena perusahaan yang bermasalah. Bisa jadi ada yang perlu diperbaiki dengan mindset orang tersebut. 

Lain halnya ketika alasan keluar adalah karena akhirnya diterima LPDP di kampus luar negeri, atau sedang menyambi bisnis dan bisnisnya mulai besar sehingga membutuhkan perhatian lebih, atau dari awal memang sudah merencanakan akan keluar dalam kurun waktu tertentu.

Ketika di awal bekerja, saya juga mengalami hal yang sama (belum sempat kepikiran resign sih), merasa kalau pekerjaan ini tidak worth it dan workload-nya tidak sebanding dengan gaji yang didapat.

Apalagi saat nongkrong dan bertemu dengan teman-teman yang telah bekerja di perusahaan-perusahaan papan atas dengan gaji dua digit. Alamak... rasanya ingin meringkuk di bawah meja dan sembunyi dari mereka. 

Apalagi, sebelum bekerja di tempat sekarang, saya telah menolak offering letter dari salah satu bank untuk menjadi ODP di sana. Asli nyesek banget rasanya. (Oh ya, sekarang saya bekerja di perusahaan startup yang belum berumur dua tahun).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun