Fenomena pengawasan terhadap aktivitas mahasiswa di Indonesia menunjukkan kecenderungan yang semakin mengkhawatirkan dan sistematis, terutama terhadap kebebasan akademik serta ruang demokrasi di lingkungan kampus. Padahal, kampus sebagai institusi pendidikan tinggi memiliki mandat moral dan intelektual untuk membentuk karakter, nalar kritis, serta kesadaran sosial generasi muda. Sayangnya, fungsi ini perlahan terkikis oleh tekanan dari luar, termasuk pengawasan berlebihan dan pembungkaman terhadap kebebasan berekspresi.
Situasi ini semakin nyata pada momen peringatan Hari Buruh Internasional yang jatuh pada 1 Mei 2025. Peringatan tersebut semestinya menjadi ruang konsolidasi dan pernyataan sikap kelompok-kelompok marjinal, buruh, mahasiswa, petani, dan rakyat kecil yang selama ini suaranya kerap terpinggirkan. Di berbagai daerah, aksi massa berlangsung sebagai bentuk artikulasi tuntutan terhadap keadilan ekonomi dan perlindungan hak-hak pekerja. Namun, alih-alih mendapat jaminan kebebasan untuk berserikat dan menyampaikan pendapat secara damai, sejumlah aksi justru dibayang-bayangi praktik represif.
Salah satu kejadian yang mengundang perhatian publik adalah dugaan penyusupan intelijen dalam aksi-aksi tersebut. Di Jakarta, pada 1 Mei 2025, dua individu diduga aparat intelijen tertangkap menyamar sebagai jurnalis media nasional Kompas di depan Gedung DPR/MPR RI. Berdasarkan laporan Tempo.co, mereka diketahui sempat mewawancarai vokalis grup musik The Brandals, Eka Annash, dengan pertanyaan-pertanyaan yang dinilai provokatif dan berpotensi memecah konsentrasi serta solidaritas massa aksi. Peristiwa ini menimbulkan kekhawatiran serius mengenai penyalahgunaan atribut jurnalistik oleh aparat, yang bukan hanya melanggar etika profesi, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap media secara keseluruhan.
Jurnalis merupakan profesi yang bekerja berdasarkan prinsip kepercayaan publik, independensi, dan integritas. Ketika negara melalui aparatusnya menyalahgunakan identitas jurnalis untuk melakukan penyusupan, maka yang terancam bukan hanya kredibilitas media, tetapi juga keselamatan psikologis warga negara dalam menyuarakan aspirasi. Dalam jangka panjang, hal ini dapat melahirkan efek domino yang membahayakan: peserta aksi menjadi enggan berbicara, jurnalis yang sah dicurigai sebagai mata-mata, dan kebebasan berpendapat mengalami kelumpuhan yang sistemik.
Lebih jauh, dugaan praktik penyusupan intelijen tidak berhenti di Jakarta. Di Yogyakarta, Aliansi Mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) melaporkan adanya dugaan penyusupan intel dari kalangan mahasiswa sendiri dalam kegiatan konsolidasi internal pada 21 April 2025. Praktik ini diyakini bertujuan memecah belah solidaritas dan melemahkan jaringan horizontal antar mahasiswa serta antara mahasiswa dan masyarakat sipil. Dengan menciptakan suasana saling curiga, negara secara tidak langsung menanamkan benih disintegrasi dalam tubuh gerakan kritis, yang seharusnya dilindungi sebagai bagian dari demokrasi.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan, sejak kapan forum diskusi dan ruang ilmiah di kampus dipandang sebagai ancaman oleh negara? Apakah kemerdekaan berpikir yang merupakan sebuah ciri utama perguruan tinggi masih dianggap sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, atau justru mulai dicurigai sebagai potensi subversif? Pengawasan terhadap ruang akademik bukan hanya tindakan represif, melainkan juga bentuk pelecehan terhadap fungsi kampus sebagai pilar pencetak nalar kritis dan agen perubahan sosial.
Kampus semestinya menjadi tempat lahirnya ide-ide besar, tempat keberanian berpikir dan berbicara tidak ditakuti, tetapi dihargai. Ketika ruang-ruang tersebut mulai diawasi, bahkan dimata-matai secara aktif, maka yang tengah kita saksikan adalah kemunduran demokrasi secara perlahan namun pasti. Demokrasi tidak selalu mati dalam letusan besar, tetapi sering kali dibunuh dalam diam melalui pengawasan, rasa takut, dan pembungkaman yang dilegalkan.
Berdasarkan data dari berbagai lembaga menunjukkan bahwa ruang sipil di Indonesia terus mengalami penyempitan dalam beberapa tahun terakhir. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) mencatat bahwa eskalasi pengawasan dan pembatasan terhadap aktivitas warga sipil, khususnya kelompok-kelompok vokal seperti mahasiswa, jurnalis, dan aktivis buruh, kian mengkhawatirkan. Laporan Shrinking Civic Space in Indonesia (2024) yang dirilis oleh Forum Asia Tenggara untuk Studi dan Advokasi (FATASEA) menegaskan bahwa ketiga kelompok ini menjadi sasaran utama berbagai bentuk intimidasi, pemantauan intensif, dan serangan digital yang sistematis.
Kondisi tersebut sejalan dengan penilaian dari lembaga internasional Freedom House yang, dalam laporan tahun 2024, memberikan skor 57 dari 100 untuk indeks kebebasan sipil Indonesia. Skor ini menempatkan Indonesia dalam kategori "partly free" atau "sebagian bebas" sebuah sinyal bahwa demokrasi elektoral belum diiringi dengan perlindungan substantif terhadap kebebasan berkumpul, berekspresi, dan berpendapat, termasuk di ranah pendidikan tinggi. Salah satu indikator utama dari skor rendah itu adalah meningkatnya kontrol terhadap kegiatan demonstrasi dan forum-forum diskusi terbuka, yang kerap dianggap sebagai ancaman stabilitas, bukan sebagai praktik demokrasi.
Fakta-fakta ini kembali menimbulkan pertanyaan: mengapa negara tampak lebih sigap mengawasi ruang diskusi mahasiswa ketimbang menindak pelanggar hak asasi manusia atau koruptor kelas kakap? Bukankah diskusi dan demonstrasi merupakan bagian tak terpisahkan dari hak konstitusional warga negara dalam sistem demokrasi?
Apa yang terjadi bukan sekadar insiden insidentil, melainkan gejala struktural dari memburuknya iklim demokrasi. Ketika mahasiswa, buruh, dan jurnalis yang merupakan tiga aktor penting dalam kehidupan public menjadi sasaran utama pengawasan dan represi, maka demokrasi substantif berada dalam ancaman. Kampus yang seharusnya menjadi ruang aman untuk berpikir, berdiskusi, dan menyampaikan kritik, kini menghadapi tekanan luar biasa. Jika ruang-ruang ini tidak dilindungi, maka pembungkaman akan menjadi norma, dan keberanian intelektual akan digantikan oleh ketakutan kolektif.
Dan tentunya pengawasan yang masif terhadap aktivitas mahasiswa tidak hanya meredam semangat kritis, tetapi juga melahirkan budaya ketakutan yang merusak sendi-sendi kehidupan akademik. Forum diskusi kian sepi, organisasi ekstra kampus lumpuh oleh tekanan, dan dosen-dosen mulai membatasi ekspresi demi keamanan pribadi. Situasi ini bukan sekadar ilusi paranoid, melainkan realitas pahit yang hari ini nyata di banyak kampus menyusup kamera-kamera pengawas, laporan intelejen, dan intervensi birokrasi mengatur ritme kebebasan berpikir.
Oleh sebab itu, kejadian penyusupan intelijen dalam aksi Hari Buruh Internasional 2025 harus menjadi lonceng peringatan yang menggema ke seluruh penjuru ruang publik. Dunia pers wajib bersikap tegas terhadap segala bentuk penyalahgunaan identitas jurnalis, yang mengancam integritas profesi dan membahayakan keselamatan peliputan. Pihak kampus, sebagai benteng terakhir nalar bebas, harus berdiri membela mahasiswanya, bukan tunduk menjadi perpanjangan tangan aparat pengawas. Dan yang paling penting, mahasiswa itu sendiri harus bersatu, berani, dan tidak menyerah untuk mempertahankan ruang demokrasi yang tersisa.
Diam bukanlah pilihan. Demokrasi tidak roboh karena teriakan lantang, tetapi karena terlalu banyak orang baik memilih bungkam. Bila ruang kampus dibekap oleh pengawasan, dan ruang demonstrasi disusupi oleh penyamaran, maka sudah waktunya untuk melawan dengan suara, tulisan, aksi, dan keberanian berpikir yang tak bisa dibungkam.
Sebab kritik bukanlah musuh negara. Kritik adalah syarat utama dari demokrasi yang sehat, dan kampus adalah medan pertama yang harus menjaganya tetap hidup.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI