Dan tentunya pengawasan yang masif terhadap aktivitas mahasiswa tidak hanya meredam semangat kritis, tetapi juga melahirkan budaya ketakutan yang merusak sendi-sendi kehidupan akademik. Forum diskusi kian sepi, organisasi ekstra kampus lumpuh oleh tekanan, dan dosen-dosen mulai membatasi ekspresi demi keamanan pribadi. Situasi ini bukan sekadar ilusi paranoid, melainkan realitas pahit yang hari ini nyata di banyak kampus menyusup kamera-kamera pengawas, laporan intelejen, dan intervensi birokrasi mengatur ritme kebebasan berpikir.
Oleh sebab itu, kejadian penyusupan intelijen dalam aksi Hari Buruh Internasional 2025 harus menjadi lonceng peringatan yang menggema ke seluruh penjuru ruang publik. Dunia pers wajib bersikap tegas terhadap segala bentuk penyalahgunaan identitas jurnalis, yang mengancam integritas profesi dan membahayakan keselamatan peliputan. Pihak kampus, sebagai benteng terakhir nalar bebas, harus berdiri membela mahasiswanya, bukan tunduk menjadi perpanjangan tangan aparat pengawas. Dan yang paling penting, mahasiswa itu sendiri harus bersatu, berani, dan tidak menyerah untuk mempertahankan ruang demokrasi yang tersisa.
Diam bukanlah pilihan. Demokrasi tidak roboh karena teriakan lantang, tetapi karena terlalu banyak orang baik memilih bungkam. Bila ruang kampus dibekap oleh pengawasan, dan ruang demonstrasi disusupi oleh penyamaran, maka sudah waktunya untuk melawan dengan suara, tulisan, aksi, dan keberanian berpikir yang tak bisa dibungkam.
Sebab kritik bukanlah musuh negara. Kritik adalah syarat utama dari demokrasi yang sehat, dan kampus adalah medan pertama yang harus menjaganya tetap hidup.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI