Mohon tunggu...
Rizqi Putra Permono
Rizqi Putra Permono Mohon Tunggu... Mahasiswa S1 Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara |

Mahasiswa yang tertarik dengan sosial dan humaniora, terkhususnya sejarah, buku, dan jurnalistik.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jejak Panjang Pedagang Buku Bekas di Medan

22 April 2025   06:25 Diperbarui: 22 April 2025   06:34 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 Salah satu pedagang buku bekas di Jalan H.M. Yamin baru saja membuka tokonya (Sumber: Dok. Pribadi)

Medan bukan kota yang asing dengan dunia literasi jalanan. Di masa lalu, kawasan Lapangan Merdeka dikenal sebagai pusat buku bekas yang ramai. Mahasiswa, guru, sampai kolektor buku langka datang berburu di sini. Tapi kini, wajah kota berubah. Taman-taman dipercantik, trotoar diperlebar, dan para pedagang buku bekas  terpinggirkan.

Berasa ingin bernostalgia untuk kembali mencari buku lawas, saya melipir ke Jalan H.M Yamin. Disana, tepat setelah Underpass H.M Yamin yang baru saja diresmikan awal tahun ini, disebelah kanan, saya melihat banyak kios-kios buku bekas. Saya langsung disambut oleh kumpulan ibu-ibu yang memakai paying di bahu jalan, untuk mengajak saya masuk, berbelanja buku. Ternyata, mereka selalu melakukan hal itu setiap hari, mengajak para pengemudi kendaraan untuk mampir sejenak melihat buku-buku lawas.

Warga Kota Medan pasti sudah mendengar sejak lama tentang keberadaan penjual buku bekas di pusat kota. Kurang lebih selama 5 dekade mereka sudah menjajakan berbagai macam buku dengan harga terjangkau. Pada awalnya, mereka memanfaatkan Jembatan Titi Gantung sebagai lokasi berjualan. Jembatan yang menjadi objek cagar budaya Kota Medan ini awalnya berfungsi sebagai jembatan penghubung antara pemukiman penduduk, stasiun kereta api, dan Lapangan Merdeka. Seiring dengan berjalannya waktu, Titi Gantung terkenal menjadi tempat untuk mencari buku-buku bekas di Kota Medan.

Relokasi bukan hal baru bagi pedagang buku bekas di Medan. Dalam dua dekade terakhir, mereka sudah berkali-kali dipindahkan. Alasan yang diberikan pemerintah selalu sama: penertiban, revitalisasi, pengembalian fungsi ruang publik.

Sampai tahun 2003, para pedagang buku bekas yang berjualan di Titi Gantung kemudian dipindahkan ke sisi timur Lapangan Merdeka, dibawah arahan dari Walikota Medan pada saat itu, yaitu Abdillah. Kemudian pada tahun 2013, dari Lapangan Merdeka, para pedagang ini direlokasi ke Jalan Pegadaian. Hal ini terkait dengan wacana pembangunan City Check In lokasi parkir Bandara Internasional Kuala Namu dan Sky Bridge untuk pejalan kaki dari Lapangan Merdeka ke stasiun kereta api. Namun, pada tahun 2017 para pedagang ini dipindahkan kembali ke Lapangan Merdeka, dengan dibangun beberapa kios bertingkat. Terakhir pada tahun 2022 hingga saat ini, para pedagang buku bekas dipindahkan ke Jalan HM. Yamin, yang berada di kawasan lahan PT. KAI, bertepatan dibawah flyover kereta api bandara. Sebab, revitalisasi kawasan Lapangan Merdeka akan dilakukan.

Tepat pukul 10.45 WIB, terlihat masih banyak sekali kios-kios berwarna biru yang tutup ataupun belum buka. Kemudian, saya menemui dan berbincang dengan salah satu pedagang buku bekas yang baru saja membuka tokonya saat itu, Donald Sitorus. Saat berbincang, sekali dua kali, suara kereta api yang lewat tepat di sebelah kios-kios pedagang buku, menginterupsi kami. Pak Donald banyak mengeluhkan tidak konsistennya Pemko Medan dalam menentukan arah bagi mereka ini, para pedagang buku lawas. Selain itu, lokasi yang tidak strategis, tidak memungkinkan bagi para pembeli untuk dapat sejenak membaca buku-buku yang ada karena terganggu suara kereta api ataupun kendaraan bermotor yang lewat.

Pedagang mengeluhkan perihal tidak konsistennya Pemko Medan dalam menentukan arah kebijakan bagi nasib mereka dan tidak adanya landasan hukum tentang pembinaan para pedagang buku ini. ''Di negara ini kan seperti biasa, ganti pemimpin ganti kebijakan. Kita perlu adanya alas hukum untuk penegasan lahan dan pembinaan para pedagang buku ini, ''Ungkap Donald Sitorus (50) salah satu pedagang buku bekas, dalam wawancara.

Selain itu, lokasi saat ini yang tidak cukup strategis membuat para pedagang buku harus senantiasa berada di pinggir jalan Underpass HM Yamin untuk menarik minat pelanggan. Relokasi yang terjadi berulang kali dan dampak pandemic COVID-19 semakin membuat pendapatan mereka menurun drastis. ''Sudah 4-5 tahun ini setelah Covid, omset secara offline memang menurun jauh. Karena memang gaya beli sudah beralih ke penjualan online. Bagi kami ini sangat terasa,'' jelas Donald.

Menurunnya omset penjualan secara drastis, membuat para pedagang lebih memilih untuk menutup kios bukunya dan beralih ke penjualan secara digital atau platform marketplace. Hal ini dapat terlihat dari 180 kios yang tersedia, hanya sekitar 25 kios yang aktif berjualan setiap harinya. Dengan kondisi ketidakpastian saat ini, para pedagang buku ini berharap dengan adanya dukungan dari Pemko Medan terkait dengan pembinaan, penetapan lahan, dan promosi penjualan bagi kelangsungan usaha mereka.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun