Mohon tunggu...
Muhammad RizkyPratama
Muhammad RizkyPratama Mohon Tunggu... Mahasiswa

Menulis Artikel untuk kompensasi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Menumbuhkan Empati Sosial di Era Serba Digital

5 Juli 2025   04:33 Diperbarui: 5 Juli 2025   00:43 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

Kehidupan masyarakat kini sangat dipengaruhi oleh dunia digital. Media sosial telah mengubah cara kita berinteraksi, mengekspresikan pendapat, dan merespons isu-isu sosial. Namun, di balik kemudahan akses dan konektivitas, ada fenomena mengkhawatirkan: menurunnya empati sosial.

Kita sering menjumpai komentar pedas di kolom berita, viralnya video kekerasan tanpa konteks, atau penyebaran informasi hoaks yang merugikan. Semua itu terjadi bukan karena kita kekurangan informasi, tapi karena kita sering kehilangan kepekaan sosial. Empati, yang seharusnya menjadi inti dari relasi antarindividu, mulai tergerus oleh kecepatan dan kepalsuan dunia maya.

Empati bukan sekadar merasa kasihan. Ia adalah kemampuan untuk memahami dan merasakan apa yang dirasakan orang lain, lalu merespons dengan cara yang manusiawi. Dalam masyarakat digital, empati bisa dimulai dari hal sederhana: tidak asal menyebar informasi, memberi komentar yang membangun, dan menghargai perbedaan sudut pandang.

Sebagai generasi muda yang tumbuh di era digital, kita punya tanggung jawab moral untuk membawa nilai-nilai sosial ke ruang maya. Pendidikan karakter dan literasi digital harus berjalan seiring. Kita perlu diajarkan bukan hanya cara menggunakan teknologi, tapi juga bagaimana bersikap etis di dalamnya.

Saya percaya bahwa empati bisa tumbuh jika kita mau lebih banyak mendengar dan lebih sedikit menghakimi. Jika kita mau bertanya, “Apa yang sedang dirasakan orang ini?” sebelum menanggapi, maka dunia digital bisa menjadi ruang yang lebih manusiawi.

Di sisi lain, penting bagi institusi pendidikan untuk turut serta dalam membangun budaya empati ini. Kampus dan sekolah dapat menghadirkan ruang diskusi yang aman untuk menyuarakan perbedaan, memperkenalkan pelatihan kecerdasan emosional, hingga menyisipkan nilai-nilai etika digital dalam kurikulum.

Kampanye digital yang mengangkat isu empati dan toleransi juga bisa menjadi langkah strategis. Melalui konten yang menyentuh, kisah-kisah yang membangun kesadaran sosial, serta dukungan dari figur publik yang positif, nilai-nilai empati dapat disebarkan dengan cara yang relevan dan menarik bagi generasi muda.

Masyarakat yang berempati adalah masyarakat yang kuat. Karena ia tidak mudah dipecah belah oleh provokasi, tidak cepat marah oleh perbedaan, dan tidak sibuk menyalahkan saat krisis. Ia memilih untuk saling memahami, saling menguatkan, dan saling belajar.

Di era digital yang penuh distraksi, empati adalah keberanian. Keberanian untuk tetap peduli ketika yang lain sibuk mencari sensasi. Keberanian untuk menyapa, bukan menyerang. Karena pada akhirnya, kemajuan teknologi tidak akan berarti jika kita kehilangan sisi kemanusiaan kita.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun