Mohon tunggu...
Rizky Pahlevi
Rizky Pahlevi Mohon Tunggu... Guru

Mencari keindahan dalam kesederhanaan, tapi tak pernah ragu melangkah ke pengalaman baru

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Kontroversi Militer di Ranah Sipil: Kasus Ferry Irwandi dan Polemik RUU TNI

10 September 2025   09:56 Diperbarui: 10 September 2025   09:56 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Geger, TNI laporkan Ferry Irwandi atas dugaan tindak pidana (Sumber: Tribunjabar.com)

Polemik keterlibatan militer dalam ranah sipil kembali mencuat setelah TNI disebut-sebut ikut menyoroti dugaan tindak pidana yang melibatkan Ferry Irwandi. Rencana Satuan Siber (Satsiber) TNI untuk melaporkan CEO Malaka Project, Ferry Irwandi, ke Polda Metro Jaya menuai sorotan publik. Dugaan pidana yang ingin dilaporkan berkaitan dengan pencemaran nama baik terhadap institusi, hasil temuan patroli siber TNI.

Pernyataan TNI bahwa mereka melakukan konsultasi dengan pihak kepolisian soal kasus ini menimbulkan tanda tanya besar di kalangan publik. Sejumlah pihak mempertanyakan, sejak kapan TNI memiliki kewenangan menemukan atau mengusut tindak pidana yang seharusnya menjadi ranah hukum sipil. Menurut konstitusi, tugas utama TNI adalah menjaga kedaulatan, mempertahankan negara, dan menghadapi ancaman militer dari luar. Urusan hukum sipil merupakan kewenangan kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan.

"Ini bahaya kalau menjadi kebiasaan. Militer adalah alat pertahanan, bukan lembaga penegak hukum sipil," kata seorang pengamat politik. Ia juga menyinggung bahwa langkah seperti ini berpotensi menyalahi Pasal 30 UUD 1945 yang secara tegas memisahkan peran TNI dan Polri.  Situasi ini semakin sensitif karena beriringan dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI di DPR. Dalam draf terbaru, RUU tersebut memberi ruang bagi militer untuk menangani apa yang disebut sebagai "ancaman non-militer." Definisi ancaman ini sangat luas, mencakup isu-isu seperti serangan siber, teknologi, hingga potensi gangguan terhadap stabilitas nasional.

Kekhawatiran muncul karena definisi yang kabur bisa menjerat kritik atau aktivitas sipil independen. "Bayangkan, sistem coding independen bisa saja dicap mengganggu stabilitas. Ini membuka peluang penyalahgunaan kewenangan," ujar seorang akademisi hukum tata negara.  Para pakar menilai, jika RUU ini disahkan tanpa pengawasan ketat, maka garis batas antara ranah militer dan sipil akan semakin kabur. Hal ini bisa mengancam prinsip demokrasi dan supremasi sipil yang selama ini dijunjung dalam reformasi pasca-1998.  "Demokrasi bisa runtuh bila TNI diberi kewenangan terlalu luas di ranah sipil. Kita harus kembali ke prinsip dasar bahwa hukum sipil adalah domain sipil," tegas seorang peneliti di bidang keamanan nasional.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun