Mohon tunggu...
Rizky Novian Hartono
Rizky Novian Hartono Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Belajar untuk menulis; menulis untuk belajar.

Menulis adalah cara untuk menyimpan ilmu.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Empati, Rasa yang Mati

16 Maret 2020   21:12 Diperbarui: 16 Maret 2020   21:35 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Manusia adalah makhluk sosial. Semua sepakat dengan pernyataan ini. Selain karena memang tidak bisa menghidupi dirinya secara mandiri, manusia juga membutuhkan rasa kasih sayang dari manusia di sekitarnya terhadap perasaan yang sedang dialami. Manusia membutuhkan pundak untuk sekedar bercengkerama atas aktivitas-aktivitas yang telah dilakukan dalam satu hari. 

Terdapat berbagai alternatif seseorang mencurahkan rasa isi hatinya Sebagian orang menghabiskan waktunya dengan bertemu dengan sahabatnya. Sebagian lain memilih untuk pulang ke rumah dan mencurahkan semua uneg-unegnya ke orang tua atau juga bahkan pasangan hidupnya.

Ada juga yang memilih melakukan me time. Atau juga menghabiskan waktunya berolahraga atau melakukan hobinya untuk bisa melupakan semua kegundahannya sejenak.

Namun bagaimana ketika semua yang kita harapkan itu tidak terjadi? Dalam artian, kamu sedang mengalami kesedihan (bukan hanya dalam hal percintaan, bisa saja habis ditolak lamaran kerjanya atau targetmu buat jadi pemenang di turnamen basket tidak tercapai, dsb).

Tetapi orang-orang di sekitarmu, yang sebelumnya kamu anggap pantas untuk diceritakan tentang perjuangan hidupmu malah membuat perasaan semakin kalut. Pada dasarnya rasa senang, sedih, dan sebagainya penulis ibaratkan sebagai 'teman' abadi manusia sebab hidup manusia tidak akan jauh-jauh dari perasaan-perasaan tersebut. 

Seiring dengan semakin canggihnya teknologi, suatu informasi dapat dengan sekejap kita dapatkan melalui devices yang kita gunakan. Pada akhirnya, sebelum kita bercerita pun orang-orang yang mengenal kita akan mengetahui kondisi kita terkini. Bagaikan "an open book", semua orang sudah mengetahui sebelum diri kita sendiri mengetahuinya.

Konsekuensi hidup di zaman serba mudah seperti ini sangatlah berat. Kita harus pandai me-manage perasaan, pikiran sekaligus omongan-omongan orang agar kita tidak mudah termakan hati. Mudah bagi kamu yang pada dasarnya seseorang yang acuh terhadap cibiran orang.

Namun bagaimana terhadap orang yang selalu lebih menggunakan rasa emosionalnya ketimbang kerasionalitasannya untuk menghadapi realita yang ada? Sebagai mahkluk sosial (seharusnya) kepedulian sosial menjadi sebuah hal yang harus mampu dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari, terlepas dari bagaimana orang lain akan meresponsnya.

Sering kali ketika seseorang mengalami kesedihan, respons yang muncul bukan mengungkapkan empatinya justru menyudutkan orang tersebut. Baik secara sadar maupun tidak sadar kita pasti pernah mengalami hal tersebut.

Sering pula kita menanggapinya sebagai sebuah candaan, yang sering orang maknai sebagai ''level tertinggi'' dalam suatu hubungan pertemanan. Bercanda merupakan suatu hal yang lumrah dan wajar dalam kehidupan sehari-hari bahkan apabila tidak bercanda hari-hari tampak datar dan tak berkesan.

Permasalahan muncul ketika candaan tersebut tidak ditempatkan sesuai dengan proporsinya yakni tempat, waktu dan kondisinya. Seakan-akan candaan adalah sesuatu hal yang tak kenal batas, sekat dan syarat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun