Mohon tunggu...
Rizky Febriana
Rizky Febriana Mohon Tunggu... Konsultan - Analyst

Senang Mengamati BUMN/BUMD dan Pemerintahan

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Jangan Biarkan Garuda Seperti Merpati

21 Desember 2019   01:16 Diperbarui: 21 Desember 2019   08:41 774
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pesawat Boeing 737 MAX 8 telah dioperasionalkan oleh Garuda Indonesia, di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Minggu (7/1/2018). (KOMPAS.com/ARSIP GARUDA INDONESIA)

Langkah berani Erick Thohir mencopot Ari Askhara, Dirut Garuda Indonesia dan pihak-pihak lainnya yang diduga terlibat dalam penyelundupan tentu perlu diapresiasi. Tak tanggung-tanggung, jabatan lain mereka yang diduga terlibat di seluruh anak dan cucu usaha Garuda juga ikut dicopot.

Kasus ini tentu telah menyita perhatian publik. Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam konferensi pers, pernyataannya ikut memberatkan bahwa ada pelanggaran yang dilakukan dan bahkan disinyalir merugikan keuangan negara hingga Rp1,5 miliar.

Kini, masyarakat tentu bertanya langkah-langkah selanjutnya, episode seperti apa setelah ini? Termasuk publik menunggu apakah ada sisi pidana yang dilanggar lalu putusan hukum apa yang akan ditegakan para penegak hukum tentu patut untuk disimak.

Namun demikian, ada satu perhatian serius yang perlu juga diperhatikan dari kasus ini yang terus di-blow up media hampir setiap harinya. Perhatian tersebut adalah dampak risiko atau efek terhadap citra Garuda sebagai entitas bisnis atas semua pemberitaan yang saya kira perlu diminimalisasi.

Sebab penulis yakin, baik langsung maupun tidak langsung apa yang dilakukan direksi dan pihak-pihak yang terlibat juga berimbas terhadap Garuda. Seperti halnya Garuda telah disanksi administrasi oleh Kementerian Perhubungan. Hal tersebut merupakan dampak langsung terhadap perusahaan  yang ditimbulkan akibat ulah segelintir orang.

Contoh dampak langsung lainnya adalah ketika saham Garuda juga ikut turun 2,42% ketika adanya pencopotan dirut dan pihak-pihak yang diduga terlibat dalam dugaan penyelundupan. Sebuah tanda respons pasar yang menurun terhadap Garuda. Double effect yang dirasakan Garuda pasca-penurunan harga saham atas adanya restatement laporan keuangan Garuda tahun 2018.

Selain itu, dampak tidak langsung juga perlu kita waspadai. Sebagai contoh, istilah "gundik" yang akhir-akhir ini populer.

Menurut hemat penulis, itu menimbulkan kesan bahwa intelektual pramugari nomor sekian, yang penting cantik. Lalu harus dekat dengan atasan supaya kariernya melesat, hidupnya mewah, dan seterusnya. Hal ini tentu menimbulkan kesan bahwa pramugari itu profesi yang kesannya negatif secara makna keseluruhan.  

Dampak yang tidak langsung lainnya seperti pemberitaan bahwa Garuda terkesan salah memiliki 7 anak dan 19 cucu perusahaan salah satunya, PT Tauberes Indonesia. Garuda Tauberes namanya mulai jadi hangat dan terkenal dan menjadi perbincangan nasional, namun kesan yang timbul lebih kepada menjadi bahan tertawaan, joke.

Hal ini tentu perlu diluruskan. Mengapa demikian?

Sebagai entitas bisnis, Garuda (GIAA) berbentuk PT alias Perseroan Terbatas. Bahkan kini Garuda sudah TBK atau terbuka yang artinya sahamnya dimiliki juga oleh publik.

Sebagai sebuah entitas bisnis, selain tunduk kepada UU BUMN No 19 Tahun 2003, perusahaan juga tunduk terhadap UU PT No 40 Tahun 2007 dimana sebuah perusahaan tentu tugas dan tujuan utamanya adalah mencari laba.

Dan perlu diingat Garuda sama seperti BUMN dan perusahaan swasta lainnya sekalipun, tentu akan mengoptimalkan seluruh sumber daya yang mereka miliki, menggunakan alat produksi yang ada, idle asset yang belum dimanfaatkan, opportunity (kesempatan) dan space (ruang) yang tersisa yang dapat dikomersialkan.

Sampai di sini Garuda tidak salah memiliki cucu usaha Tauberes. Apalagi jika kita melihat model bisnis Tauberes yang mencoba memanfaatkan ruang "lambung" pesawat maskapai apapun, lalu menghubungkan antara maskapai tersebut yang masih memiliki space dengan perusahaan atau agen/kurir logistik.

Filosofi Tauberes adalah Transportation, Airlines, Utilities, Beneficial, Effective, Reliable, Efficient, Safe. Intinya adalah memanfaatkan peluang bisnis sebagai fasilitator logistik.

Tauberes lebih efisien, tanpa harus lagi perusahaan logistik memiliki pesawat sendiri, atau mendepositkan banyak uang ke maskapai jika mau mengirimkan barang ataupun lebih murah dan fleksibel bagi kurir atau agen yang sebelumnya dimintai batas minimal pengiriman dengan nominal tertentu.

Mereka meng-generate atau menghasilkan pendapatan dari komisi maskapai, perusahaan logistik, agen atau kurir, dan juga konsumen sekian persen. Sungguh model bisnis yang menarik dan win-win solution bagi semua pihak.

Bagi maskapai yang "lambung" pesawatnya kosong tentu akan meningkatkan pendapatan karena load factor-nya terutama logistik terisi dengan optimal. Bisa menjadi substitusi bangku penumpang yang kosong dalam perjalanan penerbangan atau mengganti biaya avtur yang merupakan fixed cost.

Bagi agen/kurir tak perlu melakukan deposit atau minimal pengiriman barang. Bagi konsumen tentu jasa pengiriman barang akan jauh lebih murah karena baik si maskapai maupun kurir akan mengenakan charge yang lebih sedikit dibandingkan menyewa pesawat, membayar minimum pengiriman, atau melakukan deposit sekalipun. 

Begitu juga semua BUMN lainnya yang memiliki lini bisnis dari anak dan cucu yang berbeda dari core bisnis induk usahanya.

Business is business. Apapun akan dilakukan oleh induk perusahaan untuk mengejar profit secara konsolidasi meskipun dengan cara membuat anak usaha, melahirkan cucu usaha yang berbeda lini bisnis dari induk usahanya karena alasan-alasan yang telah penulis sebutkan di atas, punya aset idle dan intinya karena BUMN juga dituntut mengejar laba usaha. 

Maka tak heran banyak induk BUMN meskipun laba usaha adalah laba konsolidasi, kinerja anak usahanya lebih moncer dibandingkan kinerja induk usaha secara stand alone.

Sebagai contoh Merpati. PT Merpati Nusantara Airlines (MNA) yang tak lagi beroperasi sejak 1 Februari 2014 karena berbagai permasalahan. Kedua anak usahanya yakni Merpati Training Center dan Merpati Maintenance Facility (MMF) masih tetap beroperasi. Bahkan, kondisi bisnis MMF terbilang cukup baik.

Justru saya melihat, mengatur lini antar-BUMN grup adalah tugas utama Kementerian BUMN yang mengatur, yang membuat regulasi mau seperti apa BUMN itu dalam berbisnis dan menjalankannya?

Apakah anak usaha dan cucu harus inline dengan bisnis induk? Atau mau dimerger lini bisnis yang sama antar-BUMN grup?

Mau ada "holdingisasi" by sector industry atau apapun kebijakannya, pemerintah yang atur. BUMN tentu nantinya akan tunduk dan patuh terhadap pemegang saham, yaitu Kementerian BUMN.

Mitigasi Risiko dan Solusinya
Semua contoh-contoh di atas mulai dari gundik sampai dengan Tauberes adalah salah satu potensi risiko (eksternalitas) negatif yang menyasar Garuda sebagai sebuah entitas bisnis karena adanya dampak dari sebuah pemberitaan yang terus menerus.

Bukannya saya anti terhadap pemberitaan ini, tentu peran media sebagai pilar demokrasi juga punya peran meletakan atau menunjang pilar good corporate governance di BUMN grup.

Hanya ada rasa kekhawatiran yang mungkin saja berlebihan, bukan kepada berita, tetapi lebih kepada sebagian opini di sosial media yang menggeneralisasi. Seperti efek bola salju yang liar di mana Garuda sebagai sebuah entitas bisnis semua salah, semua jelek. Penulis hanya ingin Garuda jangan seperti Merpati yang akhirnya berhenti beroperasi.

Mari kita tunggu bersama episode berikutnya, selain penegak hukum harus ikut menjawab ujung kasus ini adakah unsur pidana di dalamnya?

Satu hal yang krusial lagi tentu dalam konteks Garuda untuk segera ditunjuk dari kalangan orang profesional, berpengalaman, yang memiliki track record yang baik sebagai Direksi Garuda.

Unsur direksi selain dari orang eksternal, sebaiknya perlu dicoba juga memasukan orang internal perusahaan yang tahu seluk beluk Garuda dari A-Z, dari induk sampai anak usaha, agar gap informasi pembelajaran tidak membutuhkan waktu lama dalam transfer informasi.

Ke depan, kepemimpinan BUMN harus mulai mengedepankan kombinasi orang eksternal untuk membawa spirit baru dan orang internal yang memiliki pengalaman yang panjang. Harapannya tercipta harmonisasi dan kolaborasi yang baik.

Ya kurang lebih, sama seperti Erick Thohir mengangkat Javier Zanneti sebagai wakilnya ketika ia menjabat Presiden Inter Milan, sebuah klub papan atas sepak bola Italia.

Di samping itu, penguatan dan penerapan good corporate governance menjadi harga mati yang tak bisa ditawar. Tentu, Erick Thohir lebih paham.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun